Alquran memberi sinyal bahwa komunitas berbasis profetik yang akan menguasai bumi sekaligus pewaris tunggalnya. Kesalehan sosial melekat pada diri mereka, dan hal itu sebagai identitasnya.
Umat Islam diimpikan sebagai penopang masyarakat profetik. Namun saat ini sedang menjadi masyarakat yang termarginalisasi oleh neokolonialisme.
Negara-negara kafir, sebagai representasi neokolonialisme, sedang mengendalikan penduduk mayoritas muslim, yang di-setreotype-kan sebagai simbol keterbelakangan peradaban.
Sumber-sumber daya alam yang melimpah di wilayah penduduk mayoritas muslim umumnya menjadi sasaran eksploitasi negara-negara non-muslim.
Hilangnya identitas profetik inilah yang menjadi akar leluasanya negara-negara kafir mengeksploitasi dan menghinakan umat Islam.
Pengendali Dunia
Allah memproklamirkan bahwa bumi akan diwarisi dan dikelola oleh kaum yang saleh. Kaum saleh dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki hubungan vertikal dan horizontal yang baik.
Hubungan vertikal yang baik karena memiliki hubungan yang dekat dengan penguasa langit dan bumi serta siap mempertanggung jawabkan segala perbuatannya.
Hubungan horizontal yang baik karena memproduksi kebaikan kepada sesama, sehingga tercipta keadilan di tengah masyarakat.
Masyarakat profetik merujuk pada konteks kehidupan yang digerakkan oleh nilai-nilai agung sehingga segala gerak dan langkahnya identik dengan kemuliaan.
Masyarakat seperti ini identik dengan amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) dan nahi munkar (melarang kemaksiatan).
Nabi Muhammad mendampingi dan memompa spirit profetik, sehingga muncul pengakuan Allah terhadap mereka sebagai khairu ummah (umat Terbaik).
Predikat sebagai khairu ummah karena mereka menjadikan Alquran sebagai petunjuk utama dalam meniti kehidupan.
Maka pantas apabila mereka mewarisi dunia, sebagaimana penjelasan Alquran berikut:
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَـيَسْتَخْلِفَـنَّهُمْ فِى الْاَ رْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَـيُبَدِّلَــنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًا ۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـئًــا ۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)
Para sahabat menjadi penguasa dunia karena tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain. Atas perintah nabinya, berhala-berhala telah mereka hancurkan, sehingga tidak ada lagi sesembahan yang mereka agungkan, kecuali Allah.
Mereka bukan sekelompok masyarakat yang menyembah Allah ketika memperoleh kebaikan saja, tetapi mereka all out dalam mengikuti panduan Allah ketika keadaan susah. Mereka melakukan ini karena mengikuti petunjuk Allah.
Hal ini sebagaimana narasi Alquran sebagai berikut:
اِنَّ فِيْ هٰذَا لَبَلٰغًا لِّـقَوْمٍ عٰبِدِيْنَ
“Sungguh, (apa yang disebutkan) di dalam (Alquran) ini benar-benar menjadi petunjuk (yang lengkap) bagi orang-orang yang menyembah (Allah).” (QS. Al-Anbiya : 106)
Totalitas dalam berpegang pada hukum Allah itulah yang membuat mereka disebut sebagai generasi profetik.
Mereka berbeda dengan masyarakat yang ingat Allah ketika dalam kebaikan saja, tetapi melupakan-Nya ketika ditimpa musibah.
Karakteristik ini melekat pada komunitas munafik sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
وَمِنَ النَّا سِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍ ۚ فَاِ نْ اَصَا بَهٗ خَيْرٌ ٱِطْمَاَ نَّ بِهٖ ۚ وَاِ نْ اَصَا بَتْهُ فِتْنَةُ ٱِنْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖ ۚ خَسِرَ الدُّنْيَا وَا لْاٰ خِرَةَ ۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَا نُ الْمُبِيْنُ
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj : 11)
Terliputi Kehinaan
Situasi dan kondisi umat Islam saat ini sangat kontras dengan keadaan kaum muslimin era Nabi.
Alih-alih menjadi generasi profetik, mereka justru banyak menjadi generasi pro-moderasi hingga menyembunyikan identitas aslinya sebagai seorang muslim.
Menyembunyikan identitas Islam inilah yang membuat kaum muslimin menjadi sasaran pem-bully-an. Bahkan umat Islam saat ini menjadi sasaran dan target konflik, sehingga Allah menghilangkan kewibawaannya.
Akibat konflik internal itulah membuat umat Islam dalam keadaan terancam, dan tidak sedikit di antara mereka yang menggadaikan harga diri mereka untuk memperebutkan pengaruh di hadapan kaum kafirin.
Keadaan inilah yang membuat mereka rendah diri, karena tidak mempertuhankan Allah semata.
Mereka tidak layak mendapatkan kekuasaan, sebagaimana yang dijanjikan Allah karena tidak menyembah kepada Allah secara total.
Totalitas penyembahan tidak lagi utuh kepada Allah karena loyalitas kaum muslimin bergeser kepada non-muslim demi mendapatkan kekuasaan.
Sebagian umat Islam memperebutkan kepentingan dunia sehingga mau memerangi saudara sesama agama guna membela kepentingan asing yang berbeda agama.
Kerelaan secara all out untuk mengeksploitasi pikiran dan tenaganya untuk merendahkan saudaranya sesama muslim, demi membela kepentingan orang kafir, merupakan kehinaan yang sebenarnya.
Mereka mengimpikan terwujudnya nilai-nilai profetik, tetapi perilakunya justru menginjak-injaknya. Inilah hakikat nir-profetik yang melahirkan neokolonialisme. (*)
Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya