Brunch di Kota New York
Muhammad Shamsi Ali. foto: ist
UM Surabaya

*) Oleh: Utteng Al-Kajangi (Shamsi Ali)

Brunch adalah kombinasi dua kata: breakfast dan lunch. Mungkin dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan makan siang dini. Sehingga makan siang yang terasa masih sarapan.

Ahad, 26 November kemarin, saya diajak oleh seorang aktivis Yahudi untuk brunch dan berbincang-bincang tentang banyak hal.

Satu di antaranya yang kita diskusikan adalah tentang gencatan senjata 5 hari antara Israel dan Palestina. Inilah yang saya tuliskan secara singkat kali ini.

Kita mendiskusikan apakah gencatan senjata ini menunjukkan kekuatan atau kelemahan? Apakah yang lemah Israel atau Palestina?

Apakah ini pertanda jika keduanya sudah melemah? Adakah pihak yang diuntungkan? Apakah ada yang diuntungkan dan dirugikan dengan gencatan senjata ini?

Salah satu hal yang saya sampaikan dalam pembicaraan itu adalah bahwa “no one is winning with this war” (tidak ada pemenang dalam peperangan ini).

Saya juga menegaskan “What we want is a permanent ceasefire (yang kita inginkan adalah genjatan senjata permanen). “Stop the war” (hentikan peperangan).

Saya juga sampaikan padanya: “mungkin anda akan terkejut. Atau mungkin juga tidak percaya. Tapi yakinlah bangsa Palestina tidak akan pernah lemah apalagi kalah, hingga menemukan kemenangan sejati”.

Dia tiba-tiba menyela : bagaimana bisa dikatakan menang? Begitu banyak warganya yang meninggal. Rumah-rumah mereka diporak-porandakan. Sekolah-sekolah, rumah sakit-rumah sakit, bahkan rumah-rumah ibadah hancur. Menangnya di mana?”.

Saya kemudian jelaskan: “My friend, you certainly do not know. This is about faith and mindset. For Palestinians, victory can not be measured by simply mathematical calculation or number of the deaths and destructions of lives and properties.”

(wahai teman, pastinya Anda tidak paham. Ini masalah iman dan cara pandang. Bagi bangsa Palestina, kemenangan itu tidak diukur dengan sekedar kalkulasi matematika. Tidak dengan jumlah kematian dan kehancuran fisikal).

Saya kemudian melanjutkan: “bagi bangsa Palestina, kemenangan itu bisa karena salah satu dari dua kemungkinan: mencapai cita-cita kemerdekaan negara mereka. Atau menang karena mencapai cita-cita mulia “mati di jalan Tuhan”.

Dia sedikit terdiam. Mungkin karena kata “mati di jalan Tuhan” ini masih menakutkan. Atau minimal dia tidak paham.

Karenanya saya lanjutkan: “mati di jalan Tuhan itu artinya mati dengan misi mulia. Salah satu misi mulia manusia adalah merdeka. “I am sure you will agree that being free is a dream of every human being. Isn’t it?”, (saya yakin anda setuju bahwa merdeka itu adalah impian semua orang. Bukankah demikian?), tanya saya.

Dua hanya diam sambil menatap agak dalam. Saya kemudian menyampaikan terima kasih atas makanan yang lezat. Kita kemudian berpisah dengan baik. Walaupun mungkin diskusi kita menyisakan banyak teka-teki.

Teman ini seorang Yahudi yang tidak mendukung pembataian warga sipil di Gaza. Dia adalah Yahudi yang tergabung dalam gerakan yang disebut “Jewish for Peace”.

Kebetulan siang ini mereka mengadakan demonstrasi mendukung Palestina di kota New York. Seperti yang mereka lakukan beberapa hari lalu di station Grand Central New York.

Mereka mengajak saya untuk hadir dan ikut dalam kegiatan yang disebut “civil disobedience”.

Demonstrasi yang melanggar aturan. Misalnya berbaring di jalan menutup lalu lintas. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian publik dan otoritas. Dan biasanya berakhir dengan penangkapan oleh kepolisian.

Walaupun saya tidak sempat hadir karena acara lain, saya sampaikan: “my heart and spirit are with you all” (hati dan jiwa saya bersama kalian semua).

Banyak hal yang kami bicarakan. Dan hampir dalam semua hal kami sepakat. Salah satunya gencatan senjata harus bersifat permanen.

Kami juga sepakat bahwa untuk penyelesaian permanen masalah Palestina-Israel adalah dengan mengakhiri pendudukan Israel dan berdirinya negara Palestina yang merdeka.

Mungkin two states solution yang selama ini didengungkan adalah solusi yang paling realistik dan bijak.

Lebih khusus lagi kami sepakat bahwa apapun dan bagaimanapun yang terjadi antara Palestina dan Israel kita harus bersama-sama terus membela keadilan demi perdamaian dunia.

Itulah sekilas perbincangan di hari Ahad di kota Manhattan, New York City. (*)

(Catatan Poetra Kajang dari jantung Kapitalisme dunia).

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini