*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
Di antara tanda hati yang sakit adalah hamba sulit untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya.
Akhirnya, hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?.” (QS. Al Furqan: 43)
Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan mengatakan:
Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya Azza wa Jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,.
Persis seperti firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahanam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)
Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan, sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridai Allah Azza wa Jalla.
Dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak.
Dia akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan mati sehingga terbebas dari azab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula hidup,
Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan di hadapannya masih ada azab yang berat.” (QS. Ibrahim: 17)
Di antara tanda hati yang sakit adalah pemiliknya tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata pepatah tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat.
Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal ini melahirkan tobat dan inabah kepada Rabb-nya Azza wa Jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.”
(QS. Al A’raaf: 201)
Allah berfirman ketika menyebutkan karakter orang beriman:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?
Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran: 135)
Maksudnya adalah ketika mereka bermaksiat, mereka mengingat Allah Azza wa Jalla, ancaman dan siksa yang disediakan oleh-Nya bagi pelaku kemaksiatan, sehingga hal ini mendorong mereka untuk beristighfar kepada-Nya.
Penyakit hati justru menyebabkan terjadinya kontinuitas keburukan seperti yang dikemukakan oleh al-Hasan ketika menafsirkan firman Allah:
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al Muthaffifin: 14)
Beliau mengatakan: “Hal itu (rahn) adalah dosa di atas dosa yang membutakan hati. Adapun hati yang salim justru akan melahirkan perbuatan yang baik setelah dulunya berbuat buruk, melahirkan tobat setelah dulunya berbuat dosa.
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran.
Hati yang salim akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang menyimpang.
Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di dalam hatinya.
Sebagian ulama mengatakan, “Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk daripada kebodohan?”
Imam Sahl pernah ditanya, ” Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk daripada kebodohan? Dia menjawab, Bodoh terhadap kebodohan. Kemudian ada yang berkata, Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.
Ada penyair yang berkata, “Kebodohan adalah kematian sebelum pemiliknya mati,
Tubuh mereka layaknya kuburan sebelum dikuburkan
Kepada tubuh yang semula, ruh mereka ingin kembali,
Padahal bagi mereka, tidak ada kebangkitan hingga hari kebangkitan
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari Alquran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya
“Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al Isra: 82).
Mereka justru berpaling mendengarkan lagu yang menumbuhkan kemunafikan dalam hati, menggerakkan syahwat dan mengandung kekufuran kepada Allah Azza wa Jalla.
Pada kondisi ini, hamba mendahulukan kemaksiatan karena kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan rasul-Nya.
Dengan demikian, mendahulukan kemaksiatan merupakan buah dari penyakit hati dan akan menambah akut penyakit tersebut. Sebaliknya, hati yang sehat justru akan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman-Nya
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS. Al Hujuraat: 7).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Orang yang ridai Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul, niscaya akan merasakan kelezatan iman.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Di antara tanda penyakit hati, pemiliknya condong kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia.
Tidak mengharapkan kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya kelak di sana. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News