Fir’aun-Musa: Pertarungan Nasionalisme-Religius

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Perdebatan tentang kontribusi kelompok nasionalis dan religius terhadap negara Indonesia seringkali berujung mengedepankan kelompok nasionalisme dan menganaktirikan kelompok religius.

Namun dalam sejarah perjuangan negara Indonesia ini, kelompok religius justru paling cinta pada negara ini, karena dengan menegakkan nilai-nilai profetik berhasil mengusir penjajah.

Ironisnya, mereka justru dinista sebagai kelompok yang dicurigai merongrong ideologi negara. Sehingga keberadaannya dipertanyakan nasionalismenya dan distigma sebagai ancaman bagi ideologi negara.

Sementara pihak-pihak yang mengklaim sebagai kelompok nasionalis justru bermetamorfosis sebagai kelompok yang leluasa mengeksploitasi sumber daya untuk kepentingan dirinya. Fir’aun merupakan representasi kaum yang menjual nasionalisme untuk membangun negara.

Nabi Musa yang merepresentasikan sebagai kelompok religious justru distigma sebagai kelompok yang membahayakan negara.

Di tengah kecurigaan sebagai kelompok yang membahayakan negara, Nabi Musa justru berhasil menyelamatkan negara dari rongrongan Fir’aun yang telah menindas dan menghinakan rakyatnya.

Nasionalisme dan Eksploitasi Negara

Di Indonesia, kelompok nasionalis sering dipandang sebagai pemilik sah sekaligus layak dijadikan rujukan ketika membuat aturan dalam bernegara.

Sementara kelompok religius justru dipandang sebagai ancaman negara yang patut dicurigai.

Kelompok religius senantiasa dikaitkan dengan sebuah gerakan yang membahayakan ideologi dan stabilitas negara.

Oleh karenanya, gerak-geriknya senantiasa diawasi dan dipantau agar negara ini steril dari berdirinya negara berbasis negara (Islam).

Hal ini berbeda dengan kelompok nasionalis yang senantiasa absah ketika berwacana apa pun tentang negara.

Termasuk dalam menafsirkan dasar negara senantiasa merujuk pada pemikiran mereka. Oleh karenanya, setiap calon pemimpin dipersyaratkan untuk memiliki nasionalisme yang baik, dan tak terendus atau terpapar nilai-nilai religius-radikal.

Meskipun pada akhirnya, kelompok nasionalis inilah berpeluang besar menafsirkan pasal-pasal yang berujung pada eksploitasi berbagai asset yang akan menghancurkan negara. Bukankah mereka yang mengaku nasionalis justru banyak terlibat dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Di sisi lain, mereka yang bersungguh-sungguh dalam berpegang teguh dalam menegakkan nilai-nilai religius (Islam) justru dituduh sebagai kelompok yang membahayakan negara, dan distigma sebagai kelompok yang menggoyahkan ideologi negara.

Mereka dicurigai ingin mendirikan negara Islam. Oleh karenanya, Gerakan kaum muslimin ini harus diawasi dan kalau perlu dipantau agar negara tidak disusupi oleh gagasan transnasional.

Dalam konteks bernegara, pertarungan dua kelompok nasionalis dan religius bisa merujuk pada kisah Fir’aun dan Nabi Musa.

Fir’aun sering kali mengaku dirinya paling cinta negaranya, sementara Nabi Musa dipandang sebagai kelompok yang berbahaya dan berupaya memalingkan dari ideologi negara yang telah dikokohkan Fir’aun dengan perjuangan yang panjang.

Padahal dalam praktik bernegara, Fir’aun memimpin dengan kepemimpinan yang otoriter. Dia memerintah rakyatnya dengan kebengisan dan karakter yang kejam.

Fir’aun tidak segan untuk membunuh siapapun yang membangkang perintahnya. Fir’aun pun bersumpah sebagai sosok negarawan yang telah berbuat banyakuntuk negerinya. Hal ini ditegaskan

Alquran sebagaimana firman-Nya:

{ وَنَادَىٰ فِرۡعَوۡنُ فِي قَوۡمِهِۦ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِي مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِي مِن تَحۡتِيٓۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ }

“Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; apakah kamu tidak melihat?” (QS. Az-Zukhruf: 51]

Dalam memimpin negara, Fir’aun merupakan sosok pemimpin yang berbuat sewenang-wenang.

Bahkan dalam kebijakannya, sengaja memecah belah rakyatnya, hingga terlahir perintah untuk membunuh anak laki-laki dan membiarkan perempuan hidup.

Hal ini ditegaskan Alquran sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى الْاَ رْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَـعًا يَّسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ اَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْيٖ نِسَآءَهُمْ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ

“Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka.

Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 4)

Rakyatnya patuh pada Fir’aun bukan karena cinta, tetapi karena keterpaksaan dan ketakutan menerima hukuman.

Fir’aun memonopoli kebenaran dalam hal apapun. Sehingga berhasil memaksa rakyatnya untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya.

Tidak dipungkiri, Fir’aun berhasi membangun infra-struktur negara dengan baik, cinta negeri dan membangun serta memperindah negerinya. Berbagai gedung dan fasilitas negara diwujudkannya.

Di puncak kejayaan itu datanglah sosok pembawa nilai-nilai religiusitas yang diutus Allah untuk mengingatkan penyimpangan Fir’aun.

Nabi Musa pun mendatangi mengingatkan Fir’aun agar menghentikan praktik bernegara yang sangat kejam dan memperalat nasionalisme untuk mengeksploitasi aset-aset negara.

Fir’aun telah bertindak sewenang-wenang, hingga menstigma Nabi Musa sebagai sosok yang membahayakan negara. Nabi Musa dipandang sebagai orang yang hendak memalingkan dari kepatuhan tunggal.

Lewat penyihirnya, Fir’aun memperoleh pembenaran untuk menuduh Nabi Musa sebagai manusia yang ingin mengubah tatanan Mesir dan merusak keyakinan masyarakat serta berkeinginan untuk menghancurkan budaya yang sudah mapan.

Hal ini dipaparkan Alquran sebagaimana firman-Nya:

{ قَالُوٓاْ إِنۡ هَٰذَٰنِ لَسَٰحِرَٰنِ يُرِيدَانِ أَن يُخۡرِجَاكُم مِّنۡ أَرۡضِكُم بِسِحۡرِهِمَا وَيَذۡهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ ٱلۡمُثۡلَىٰ }

“Mereka (para penyihir) berkata, “Sesungguhnya dua orang ini adalah penyihir yang hendak mengusirmu dari negerimu dengan sihir mereka berdua dan hendak melenyapkan adat kebiasaanmu yang utama.” (QS. Tha-Ha: 63)

Ketidakmampuan untuk melawan argumentasi Nabi Musa, Fir’aun pun menggunakan genggaman kekuasaannya untuk melakukan tipu daya dengan membunuh Nabi Musa. Fir’aun menyebarkan fitnah untuk membenarkan pembunuhan pada Nabi Musa.

Fir’aun mengisukan Nabi Musa untuk menukar keyakinan dan hendak membuat kerusakan yang menghancurkan tatanan. Hal ini ditegaskan Alah sebagaimana firman-Nya:

{ وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِيٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُۥٓۖ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ }

“Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.” (QS. Ghafir : 26)

Dengan nilai-nilai profetik-religiusnya, Nabi dituduh membawa ajaran baru yang mengancam ideologi negara sehingga dikhawatirkan mengguncang dan membuat ambruk tatanan sosial dan ideologi negara.

Religius dan Cinta Negara

Melihat sejarah perjuangan Nabi Musa yang merepresentasikan sebagai kelompok religius justru menyelamatkan negaranya dari genggaman Fir’aun yang mengaku sebagai kelompok nasionalis.

Fir’aun bekerja sama dengan Hamman (panglima sekaligus pemimpin proyek negara), dan Qarun (konglomerat) untuk mengeksploitasi negaranya.

Dengan dalih nasionalisme, mereka menindas rakyatnya, membunuh bayi laki-laki serta memecah belah rakyatnya.

Fir’aun bersama komplotannya mengeksploitasi negaranya dan bersekongkol menyingkirkan kelompok religius dengan menghasut Nabi Musa, serta berencana membunuhnya.

Pertentangan kelompok nasionalis-religius yang dipresentasikan oleh Fir’aun-Nabi Musa, juga terjadi pada istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth.

Istri kedua Nabi ini merepresentasikan sebagai penopang dan pembela budaya setempat. Kedua istri ini memerangi perjuangan suci suaminya, dengan memadamkan cahaya kenabian.

Namun nasionalisme yang diperjuangkan dua istri Nabi ini terbukti runtuh, dimana kaum Nabi Nuh dmunshkan dengan banjir, dan kaum Nabi Luth ditimbun ke dalam bumi.

Berakhirlah kelompok nasionalis dan tegaklah kelompok religius dengan cahaya serta nilai-nilai profetik.

Dalam konteks Indonesia saat ini, betapa banyak kelompok yang mengaku nasionalis tapi perilakunya bebas dari jerat hukum.

Mereka mengeksploitasi sumberdaya alam dan menindas rakyatnya dengan membungkam suara-suara kritis. Mereka pun menstigma kelompok religius (Islam) telah terpapar radikalisme dan terorisme.

Atas nama nasionalisme mereka mengeksploitasi alam dan bekerjasama dengan asing dan asing untuk menguasai sumber daya negara ini.

Mereka sudah melupakan janji untuk menyejahterakan rakyatnya serta lali untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Berbagai tindak korupsi pun tebang pilih sesuai dengan kepentingannya.

Mirisnya, untuk melanggengkan kekuasannya, mereka menggunakan para intelektual tukang (muslim) untuk memperoleh dukungan politik.

Berbagai lembaga survei pun dimanfaatkan untuk menjustifikasi kepentingan politiknya. Dengan demikian, masyarakat terpengaruh opininya hingga mengakui keberhasan rezim ini.

Untuk saat ini, kelompok Islam yang selama ini menjadi korban stigma buruk, sebagai kelompok teroris-radikal didekati, dan dimanfaatkan untuk mendapatkan suara.

Para calon presiden pun menyematkan dirinya senagai kelompok nasionalis dengan menggandeng kelompok religius.

Kalau selama ini kelompok religius dipandang sebagai ancaman, maka saat ini justru disematkan kepada salah satu pasangannya. Hal ini tidak lain agar umat Islam memilihnya.

Istilah religius yang selama ini distigma buruk, untuk sementara dipakai untuk meraih simpati kaum muslimin dan memilihnya sebagai pemimpin.

Meskipun dalam praktek bernegara, pasangan yang direpresentasikan sebagai pasangan religius tak pernah difungsikan secara maksimal.

Kelompok nasionalis ini bergerak leluasa tanpa memberi ruang dan peluang kepada pasangannya, yang religius, hingga leluasa menyingkirkan peran umat Islam.

Terlebih lagi, sebagian intelektual muslim yang terlibat dalam politik tidak bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam.

Bahkan di antara mereka menerapkan sebuah adagium “Berpolitik adalah mendukung pihak-pihak yang berpotensi menang. Untuk apa berpolitik kalau mendukung pihak yang berpotensi kalah.”

Ketika para intelektual terdidik sudah memiliki keyakinan seperti ini, bukan tidak mungkin, ketika mereka tinggal di Palestina, akan mendukung Israel.

Mendukung Israel karena di sana ada banyak dana dan persenjataan, serta dukungan internasional.

Sementara mendukung Palestina dipandang sebagai pilihan yang salah, karena dananya terbatas dan persenjataannya apa adanya.

Mereka lupa bahwa Palestina memiliki sandaran kepada Allah sangat kuat, sehingga pertolongan Allah pun datang kepada mereka.

Ketika berpolitik dengan mendukung kelompok yang kuat dan berpotensi menang, maka keyakinan itu bertentangan dengan apa yang telah dijalani Nabi Muhammad.

Bukankah Nabi Muhammad ketika awal berdakwah mengalami tekanan yang kuat, hingga kaum kafir Quraisy membujuk Nabi Muhammad untuk menerima tawaran yang menggiurkan berupa kekayaan melimpah, kekuasaan yang kokoh, dan perempuan yang cantik.

Mendapatkan tawaran itu, Nabi Muhammad tetap memegang prinsip dan terus berdakwah dengan menolak tawaran menggiurkan itu.

Perjuangan politik nilai tetap ditegakkan Nabi Muhammad hingga pertolongan Allah datang, sehingga bukan hanya kaum Quraisy yang takluk, tetapi Jazirah Arab berhasil ditaklukkan Islam.

Islam pun menjadi agama profetik yang dikagumi oleh masyarakat dunia hingga ke tanah air kita, Indonesia. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini