Dalam lingkup Muhammadiyah, keraguan muncul di kalangan beberapa warga terkait menjamak Salat Zuhur dan Ashar karena alasan rapat atau kegiatan organisasi lainnya. Dalam acara Konferensi Mufasir beberapa waktu silam di Solo, misalnya, mayoritas peserta menunaikan salat jamak. Hal ini menciptakan ketidakpastian karena beberapa ulama menolak jamak salat jika tidak dalam keadaan safar (bepergian).
Ketua Majelis Tarjih & Tajdid Muhammadiyah Kota Depok Nur Fajri Romadhon, Sabtu (2/12/2023) mengatakan bahwa beberapa ulama memang mengklasifikasikan jamak salat di luar safar sebagai tidak diperbolehkan. Akan tetapi, penting untuk diingat bahwa fikih Islam mencakup beragam pandangan dan interpretasi.
Sejumlah ulama, termasuk sebagian ulama mazhab Syāfi’iyy seperti Ibnul Mundzir, Al-Qaffāl Asy-Syāsyiyy, dan Al-Marwaziyy, bersama dengan pendapat Asyhab dari mazhab Mālikiyy, dan tokoh-tokoh seperti Ibnu Sīrīn dan Rabī’ah dari kalangan tābi’īn, memiliki pandangan yang memperbolehkan jamak salat di luar safar.
Referensi seperti Al-Majmū’ dan Fatḥul Bārī menyatakan bahwa ada keterbukaan dalam Islam terhadap pendapat-pendapat yang membolehkan jamak salat. Oleh karena itu, dalam menyikapi keraguan tersebut, warga Muhammadiyah perlu menyadari bahwa pandangan mengenai jamak salat tidak bersifat tunggal dan tidak kaku.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada tahun 2004 dalam Tanya Jawab Agama jilid VI menyatakan bahwa menjamak salat karena sedang dalam hajat atau kepentingan yang sangat penting adalah boleh. Namun dengan catatan bahwa hal ini tidak boleh dijadikan kebiasaan. Jawaban dari tim fatwa ini menunjukkan sikap yang lebih fleksibel, memperbolehkan jamak salat meskipun non-musafir, namun dengan penekanan bahwa hal tersebut tidak seharusnya menjadi praktik yang terlalu umum.
Pentingnya pemahaman terkait jamak salat di luar kondisi safar untuk kebutuhan tertentu diperkuat oleh dalil yang diambil dari hadis. Hadis tersebut diriwayatkan Ibn Abbas menyatakan bahwa Rasulullah Saw pernah menjamak salat Zuhur dan Ashar, serta Maghrib dan Isya’ tanpa adanya faktor takut atau perjalanan. Hadis ini, yang diriwayatkan oleh Muslim, menjadi landasan bagi kebolehan jamak salat dalam konteks kebutuhan, sepanjang tidak menjadi kebiasaan.
Namun, perlu diingat bahwa kebolehan jamak salat tidak boleh menjadi praktik rutin tanpa memperhatikan faktor kebutuhan atau hajat. Tim fatwa menegaskan bahwa kegiatan seperti mengadakan acara kemuhammadiyahan tidak semestinya selalu diiringi dengan jamak salat tanpa mempertimbangkan kepadatan agenda atau kebutuhan yang mendasarinya.
Referensi Tanya Jawab Agama jilid III halaman 86 menegaskan bahwa jamak salat tidak boleh dijadikan kebiasaan tanpa alasan yang jelas, karena hanya didasarkan pada keinginan semata. Tim fatwa mempertegas bahwa jamak salat seharusnya dilakukan hanya dalam keadaan yang sangat memerlukan, memperingatkan agar tidak disalahgunakan. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News