Fir’aun: Sosok Nasionalis Pembenci Nilai-Nilai Profetik-Religius
Sosok Firaun dikenal sebagai raja yang berani mengaku dirinya sebagai Tuhan dan menjadi simbol kedurhakaan anak manusia. foto ilustrasi/Ist
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Fir’aun merupakan sosok yang menjual nasionalisme untuk melecehkan nilai-nilai profetik-religius.

Dia menunjukkan dirinya sebagai orang yang sangat cinta negerinya dengan menciptakan tatanan baru, namun ketika kekuasaan kokoh, justru menghalangi terwujudnya nilai-nilai ketuhanan yang dibawa Nabi Musa.

Kekokohan memimpin negara membuat dirinya semakin sombong, hingga menjadikan dirinya sebagai tuhan yang wajib ditaati rakyatnya.

Ketika datang peringatan Nabi Musa untuk menunjukkan jalan yang benar, Fir’aun justru semakin membangkang, hingga merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Musa.

Allah pun pada akhirnya menenggelamkannya secara mengenaskan dan mengancam siksaan yang pedih di akherat.

Nasionalisme dan Kesombongan

Fir’aun merupakan sosok negarawan yang all out dalam membangun negara. Kecintaan pada dunia mengarahkan dirinya untuk membangun berbagai fasilitas yang istimewa.

Gedung-gedung mewah dengan taman-taman indah membuat dirinya semakin kuat kekuasaannya dan dihormati rakyatnya.

Dia pun bangsa dengan membangun sungai-sungai yang bisa dinikmati oleh warganya. Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:

{ وَنَادَىٰ فِرۡعَوۡنُ فِي قَوۡمِهِۦ قَالَ يَٰقَوۡمِ أَلَيۡسَ لِي مُلۡكُ مِصۡرَ وَهَٰذِهِ ٱلۡأَنۡهَٰرُ تَجۡرِي مِن تَحۡتِيٓۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ }

“Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Wahai kaumku! Bukankah kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; apakah kamu tidak melihat?” (QS. Az-Zukhruf: 51)

Kesuksesan dalam memimpin ini membuat Fir’aun merasa bangga hingga ingin mempertahankan kekuasaannya.

Kepemimpinan sangat kejam dan bengis hingga membuatnya rakyatnya takut padanya. Dalam memimpin, Fir’aun memecah belah masyarakatnya agar saling memusuhi.

Ketika kekuasaannya kokoh, maka Fir’aun pun bermimpi bahwa ada pihak-pihak yang mengancam kekuasaannya.

Diceritakan bahwa dalam mimpinya ada cahaya putih yang memasuki istananya. Cahaya putih itu ditafsirkan sebagai datangnya seseorang yang akan mengganti kekuasaannya.

Fir’aun pun memutuskan dan memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir. Hal ini ditegaskan Alquran sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى الْاَ رْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَـعًا يَّسْتَضْعِفُ طَآئِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ اَبْنَآءَهُمْ وَيَسْتَحْيٖ نِسَآءَهُمْ ۗ اِنَّهٗ كَا نَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ

“Sungguh, Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka.

Sungguh, dia (Fir’aun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qasas: 4)

Haus akan kekuasaan membuat Fir’aun menghalalkan segala cara termasuk membunuh secara bengis pada bayi yang tak berdosa.

Kekuasaan yang mencengkeram begitu kuat membuat Fir’aun bisa melakukan apa saja hingga membuat para ibu mengalami ketakutan akan nasib bayi yang dikandungnya, khususnya mereka yang menginginkan bayi laki-laki.

Sebagai pemimpin yang memangku kekuasaan sekian lama, dengan berbagai fasilitas dan kelengkapan memimpin yang lengkap, maka Fir’aun berubah menjadi sosok yang sombong dan congkak. Di sinilah awal kehancuran kepemimpinannya.

Pembenci Nilai Profetik-Religius

Di puncak kekuasaannya, Fir’aun menjadi ancaman dan ketakutan massal. Pada situasi yang demikian, Allah pun mengutus Nabi Musa untuk mengingatkan akan penyimpangannya.

Nabi Musa datang dengan menunjukkan nilai-nilai profetik dan mengajak penguasa bengis ini menempuh jalan religius agar hidupnya aman dunia dan akhirat.

Atas seruan Nabi Musa, Fir’aun justru berupaya meredupkan cahaya kebenaran, serta merencanakan berbagai siasat busuk untuk mengubur nilai-nilai profetik-religius.

Padahal Nabi Musa sudah menunjukkan berbagai mukjizatnya sebagai bukti kenabiannya. Namun Fir’aun justru menuduh balik Nabi Musa sebagai manusia yang ingin mengubah tradisi masyarakat Mesir yang telah diperjuangkannya.

Bahkan Fir’aun menuduh Nabi Musa telah menyebarkan ide-ide kerusakan. Hal ini ditegaskan Allah sebagimana firman-Nya:

وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِيٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُۥٓۖ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ

“Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya.

Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.” (QS. Ghafir : 26)

Fir’aun sangat alergi terhadap kritik dan masukan. Bahkan dia mencurigai Nabi Musa sebagai manusia yang menghasut dan merencanakan kejahatan di muka bumi.

Puncak kejahatan Fir’aun ketika menyatakan dirinya sebagai tuhan. Allah mengabadikan hal ini sebagaimana firman-Nya:

فَقَا لَ اَنَاۡ رَبُّكُمُ الْاَ عْلٰى

“(Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at : 24)
Dalam konteks ajaran profetik, pengakuan diri sebagai tuhan merupakan kejahatan paling besar.

Dikatakan demikian, karena tugas Nabi Musa, sebagaimana nabi-nabi yang lain, untuk mengajak kaumnya bertauhid.

Fir’aun menganggap dirinya sebagai tuhan sehingga apapun yang dilakukan diyakini sebagai kebenaran.

Menurutnya, mempertahankan kekuasaan dengan meneror atau membunuh siapa pun yang menentang kebijakannya, merupakan hal yang sah-sah saja.

Nabi Musa pun dengan sabar menasihati Fir’aun secara lembut, serta mengancam bila tak menghentikan kejahatannya.

Alih-alih menyadari kesalahan, Fir’aun justru ingin melenyapkan nilai-nilai yang dibawa Nabi Musa.

Cahaya kebenaran yang disampaikan Nabi Musa ditutup-tutupi dan ingin dihalangi-halangi. Allah pun membalas kejahatan besar Fir’aun dengan ditenggelamkan di laut, Alquran mengabarkan adanya hukuman berupa azab yang sangat berat ketika di akhirat.

Hal ini ditunjukkan Alquran sebagaimana firman-Nya:

اَلنَّا رُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّا ۚ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّا عَةُ ۗ اَدْخِلُوْۤا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَا بِ

“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!” (QS. Ghafir : 46)

Kejahatan terhadap nilai-nilai profetik-religius, sebagaimana dilakukan Fir’aun atas risalah Nabi Musa, terus berlangsung hingga saat ini.

Dengan alasan membangun jiwa nasionalisme, berkorban untuk kepentingan negara-bangsa secara berdarah-darah.

Bahkan secara verbal demi kepentingan rakyat guna tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan sosial dikampanyekan secara massif.

Namun yang terjadi justru memperalat rakyat untuk memperkaya diri dan kelompoknya, melanggengkan kezaliman rezim, serta menumpuk harta dan melenggangkan dirinya dalam kekuasaan.

Bahkan tidak jarang ditemukan adanya penghalalan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, hingga menjual agamanya untuk ditukarkan dengan jabatan dan kekuasaan.

Bukankah tragedi Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyelundupkan pasal guna meloloskan seseorang agar lolos sebagai Calon wakil presiden, merupakan penghalalan segala cara?

Bukankah meniadakan debat Capres-cawapres yang baru, sebagaimana yang disahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan jalan untuk melapangkan anak presiden agar tidak dipermalukan saat acara debat terbuka?

Melihat dua fenomena di atas, mereka yang berambisi (kekuasaan) tidak menunjukkan sikap kritis, dan tidak jarang di antara mereka justru membiarkan fenomena ini berjalan.

Bahkan mereka mencari pembenar atas fenomena tak lazim itu. Rakyat bawah (grassroots) justru lebih kritis dan menginginkan praktik-praktik kecurangan seperti ini dihentikan.

Namun para elite politik dan para pemburu kekuasaan justru menikmati permainan busuk itu tanpa mengindahkan etika dalam berpolitik. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini