*) Oleh: Imron Nur Annas, S.H.I, M.H
Anggota Majelis Tabligh PDM Nganjuk, Pengajar di Ponpes Ar-Raudlotul Ilmiyah Kertosono
Secara historis, proses islamisasi di Nusantara terjadi karena aktivitas dakwah yang dilakukan para pedagang dari Persia, Arab, dan India dalam menyebarkan agama dan kebudayaan Islam secara lisan, tulisan, lukisan maupun perbuatan.
Namun perkembangan teknologi telah banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat
Nusantara, dan menyebabkan terjadinya berbagai pergeseran perilaku baik sosial,
budaya, etika, dan norma-norma yang ada.
Sehingga kegiatan dakwah Islam yang bermula dengan menggunakan pendekatan konvensional yang sudah tidak efektif berubah menggunakan pendekatan modern seperti pemanfaatan internet dan media sosial, terutama untuk para penduduk Generasi Z (Gen Z).
Menurut laporan We Are Social, jumlah pengguna internet di Indonesia telah
mencapai 213 juta orang per Januari 2023.
Jumlah ini setara 77 persen dari total populasi Indonesia yang sebanyak 276,4 juta orang pada awal tahun ini.
Jumlah pengguna internet di Tanah Air naik 5,44 persen dibandingkan tahun sebelumnya pada Januari 2022. Pengguna internet baru sebanyak 202 juta orang.
Dari sekian banyak media sosial yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, YouTube menduduki peringkat teratas yang paling banyak dikunjungi, kemudian disusul oleh WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, Tiktok.
Dengan demikian pemanfaatan media sosial jauh lebih efektif dalam menyampaikan materi dakwah.
Karena banyak bermunculan akun media sosial yang mampu mencuri perhatian Gen Z melalui unggahan-unggahannya yang berisi kajian dakwah berupa quotes maupun audio visual yang lebih kekinian.
Gen Z memiliki lifestyle yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini terlahir saat teknologi telah berkembang. Sehingga mereka dapat mengeksplorasi teknologi lebih jauh untuk menunjang berbagai aspek sosial kemasyarakatan.
Perangkat teknologi seperti Personal Computer (PC), smartphone, gaming, dan internet menjadi lekat dengan Gen Z.
Sehingga dalam kegiatan dakwah akan menjadi lebih praktis dan ekonomis dengan pemanfaatan internet.
Dengan metode ini, para dai tidak harus berada dalam satu majelis tidak perlu bersusah payah mengumpulkan orang.
Mereka hanya dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam membuat konten-konten dakwah yang lebih menarik dalam menggunakan teknologi.
Ini agar target dari materi dakwah tersebut dapat menyentuh sasaran dan menarik perhatian masyarakat. Dan media dakwah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Prinsip خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ dapat dijadikan landasan oleh para dai dalam menggerakkan kegiatan dakwah di masyarakat.
Jangan sampai dakwah menjadi beban masyarakat dan bahkan mampu memecah belah masyarakat. Dai perlu melebur dan turun secara bersama-sama dalam memecahkan problematika yang dihadapi masyarakat.
Dai tidak hanya bersikap NATO (No Action Talking Only) dan harus sebagai narasumber, melainkan juga harus sebagai motivator, manajer, fasilitator, dan inisiator.
Tidak banyak pemimpin Islam yang memiliki kepedulian pada Masyarakat yang mustad’afin. Padahal ajaran Islam amat mendorong umatnya untuk peduli pada kaum mustad’afin.
Pada konteks inilah, dai perlu mengambil peran sebagai pemimpin yang dapat melakukan perubahan pada masyarakat sebagaimana firman Allah mempertegas peran dai dalam dakwah bil qaul dan dakwah bil amal.
{ وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلࣰا مِّمَّن دَعَاۤ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَـٰلِحࣰا وَقَالَ إِنَّنِی مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِینَ }
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri. (QS. Fussilat: 33). (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News