Elektabilitas: Mengubur Etikabilitas-Intelektualitas
Ilustrasi: linkedin.com
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Salah ucap Gibran Rakabuming Raka (Calon Wakil Presiden), terhadap asam folat dengan asam sulfat menunjukkan terkuburnya etikabilitas dan intelektualitas.

Mirisnya pernyataan itu diucapkan Gibran di dua tempat yang berbeda, sehingga publik pun menganggapnya sebagai tontotan atau lawakan politik akan berjalan secara serial.

Betapa tidak, anjuran Gibran agar ibu hamil mengonsumsi asam sulfat bila menginginkan bayinya sehat.

Padahal, asam sulfat merupakan zat yang merusak tubuh bila dikonsumsi. Sementara asam folat mengandung zat yang memproduksi dan memelihara sel-sel baru yang menguatkan tubuh.

Kapasitas Intelektual

Publik pun mengabadikan dan memviralkan pernyataan Gibran yang disampaikan dua kali di dua tempat.

Kesalahan dalam menyebut asam folat menjadi asam sulfat menunjukkan rendahnya intelektualitas Gibran yang telah diusung tanpa mengedepankan etikabilitas.

Masyarakat pun melihat bahwa perjalanan Gibran dalam memasuki arena politik nasional itu mengaitkan dengan proses politik yang tidak mengindahkan etika politik.

Sebagaimana diketahui bahwa Gibran melenggang menjadi Cawapres tanpa melalui proses politik yang wajar, yang menginjak-injak fatsun politik serta tanpa menguji kapasitas intelektual.

Salah sebut itu yang muncul dari mulut Gibran tidak lepas dari andil elite politik yang tidak memperhatikan tiga prinsip dasar dalam memunculkan pemimpin yang kredibel.

Etikabilitas, intelektualitas dan elektabilitas merupakan tiga peringkat yang secara berurutan, sehingga melahirkan pemimpin yang mumpuni dan berkualitas.

Namun ketika tiga item itu di balik dengan mengedepankan elektabilitas, maka lahirlah pemimpin yang seolah-olah kredibel namun sebenarnya semu dan menipu.

Dikatakan semu karena berpotensi besar melahirkan kebijakan politik negara yang fatamorgana.

Dikatakan menipu karena kebijakannya berbeda dengan apa yang diucapkan.
Demokrasi yang berjalan saat ini lebih mengedepankan elektabilitas, dengan melalaikan aspek etikabilitas dan intelektualitas.

Dengan mengedepankan elektabilitas, muncullah pemimpin yang didasarkan pada pembentukan opini, bukan karena realitas empirik.

Media massa dan media sosial begitu cepat dalam mempopulerkan seseorang dan publik pun digiring untuk mengikuti sang pembentuk opini.

Gibran merupakan contoh pemimpin yang lahir tanpa menginjak-injak etikabilitas dan intelektualitas.

Kemunculan dia sebagai Cawapres melalui proses yang tak wajar dan banyak melawan tatanan, norma atau Undang-Undang.

Melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil lolos dan melenggang hingga menjadi cawapres tanpa mengalami uji etikabilitas dan intelektualitas.

Publik pun menilai bahwa ketika etikabilitas dan intelektualitas diabaikan maka yang muncul adalah pelanggaran-pelanggaran etik.

Dalam kampanye, Gibran membagi-bagi uang (money politics) secara terbuka, tanpa malu. Perilaku seperti ini jelas menginjak-injak etika berpolitik dan menganggap masyarakat bodoh karena bisa dibeli dengan uang.

Bahkan sempat terjadi polemik karena meniadakan debat capres-cawapres. Hal ini dilakukan untuk menutupi lemahnya intelektual Gibran.

Ketika mengedepankan elektabilitas secara otomatis akan mengubur para calon pemimpin yang memiliki integritas moral dan kemampuan intelektual.

Calon pemimpin yang berintegritas dikalahkan oleh politik uang yang sangat merusak demokrasi.

Dengan demikian, pemimpin lahir yang dilahirkan karena elektabilitas lebih karena faktor modalitas uang, bukan etikabilitas dan intelektualitas.

Uang dan Elektalibitas

Munculnya pemimpin yang mengedepankan elektabilitas, dengan mengubur etikabilitas dan intelektualitas lebih banyak mengandalkan modal uang.

Mereka memanfaatkan media dan hasil polling, serta lembaga survei untuk menaikkan elektabilitas.

Baru-baru ini lembaga survei Indo Barometer merilis bahwa intelektual Gibran di atas calon wakil presiden lainnya.

Hal ini pun membuat guyonan publik karena siapa pun tahu bahwa Mahfud MD merupakan seorang intelektual yang memiliki pengalaman  politik dan pernah duduk dalam pemerintahan era Jokowi sebagai Menkopolhukam.

Publik pun terhibur karena melihat kelucuan yang tak pernah habis melihat paparan hasil survei yang dimiliki M. Qodari ini.

Mereka yang mengedepankan modal uang pun berhasil membungkam media massa. Media massa yang seharusnya menyajikan informasi kritis, tetapi justru membesar-besarkan dan membenar-benarkan apapun yang dikatakan calon pemimpin berbasis elektabilitas ini.

Adapun yang terjadi pada Kaesang Pangarep, putra Presiden Jokowi, juga menggambarkan betapa modalitas uang dan kekuasaan bekerja secara optimal.

Hal itu bisa ditunjukkan ketika Kaesang menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan itu telah menggemparkan publik.

Tanpa modalitas intelektualitas yang cukup, tiba-tiba dalam dua hari, anak presiden itu langsung terpilih menjadi ketua partai berlambang mawar yang didominasi anak muda.

Demikian pula dari sisi intelektualitas, Kaesang juga tidak pernah terbaca jejak digitalnya. Artinya jejak kecerdasan intelektualnya belum mencuat, namun begitu mudah menduduki kursi partai ini.

Ketiadaan gejolak pada saat Kaesang mengambil alih jabatan ketua PSI, dipandang oleh publik sebagai bukti kekuatan modal (uang) dan besarnya kekuasaan presiden sehingga efektif mengintervensi kekuatan apa pun.

Apa yang dijalani oleh dua anak presiden merupakan potret bahwa elektabilitas merupakan andalan untuk mendapatkan dukungan politik, dengan menyisihkan etikabilitas dan intelektualitas.

Dengan menyisihkan etikabilitas dan intelektualitas, dan bermodalkan elektabilitas, dipastikan akan lahir pemimpin yang rendah etika politiknya, dan gagap terhadap problem sosial. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini