*) Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
Pendiri/Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI, 2003-2008)
Dewasa ini, timbul kecenderungan semakin merosotnya kualitas akhlak bangsa Indonesia yang justru sangat diperlukan dalam membangun kualitas dan integritas peradaban bangsa di tengah dinamika pergesekan dan persaingan antar peradaban umat manusia yang sangat massif di seluruh dunia.
Semua itu berkembang semakin kuat setelah runtuhnya rezim komunisme di dunia, mendorong pengaruh paham neo-liberalisme menjadi semakin dominan pengaruhnya, tanpa saingan pengimbang.
Semua diserahkan pada mekanisme pasar bebas, baik di bidang politik atas nama demokrasi, maupun di bidang ekonomi atas nama realitas ekonomi pasar (market economy).
Pergesekan-pergesekan antar peradaban itu semakin menguat pula karena dipengaruhi oleh arus derasnya perkembangan penggunaan teknologi yang serba disruptif di segala bidang, termasuk dan terutama di bidang informasi dan komunikasi.
Pergesekan-pergesekan juga semakin serius terjadi karena persaingan antar bangsa semakin dinamis, terutama dengan muncul kekuatan ekonomi dan militer baru di dunia, yaitu China dan kawan-kawan, menyaingi dominasi pengaruh super-imperialisme keuangan dan militer Amerika Serikat di seluruh dunia.
Dalam iklim politik dan ekonomi yang serba bebas sebagaimana yang diidealkan oleh paham neo-liberalisme dan neo-kapitalisme, pasar dengan segala tuntutan alamiah yang diidealkannya menjadi pusat paradigma berpikir di segala bidang kehidupan.
Pasar sebagai simbol materialitas kehidupan yang dianggap oleh Rasulullah sebagai seburuk-buruknya tempat yang seharusnya dibimbing dan diarahkan oleh masjid sebagai simbol spiritualitas nilai yang dinilai sebagai tempat yang sebaik-baiknya di mata Rasulullah, dewasa ini justru menjadi rujukan penentu segala-galanya dalam semua aspek kehidupan.
Baik kekayaan maupun jabatan kekuasaan sama-sama diperlakukan sebagai komoditas yang diperebutkan di antara sesame anak bangsa atas nama demokrasi.
Saking kuatnya, dominasi pasar bebas itu, norma hukum dan etika atau adab menjadi sekadar alat saja untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan di antara orang-orang yang tamak, yang berebutan mengambil untuk menikmati dengan tangan yang berada di bawah.
Hal ini sangat bertentangan dengan sikap yang diajarkan oleh nabi Muhammad saw, yaitu tangan di tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Para politisi dan pebisnis, sibuk berebutan mengambil untuk menikmati, bukan berlomba untuk peduli, berbagi, dan memberi dengan tangan di atas, dalam rangka berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negara.
Akhlak bangsa adalah prasyarat untuk terwujudnya keadilan. Hukum halal-haram dan adab atau etika baik-buruk tidak boleh dipisahkan satu sama lain untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum itu ibarat kapal, sedangkan etika atau adab adalah samuderanya. Tidaklah mungkin kapal hukum dapat berlayar menuju tepian pulau keadilan, jikalau air samuderanya kering, tidak mengalir sebagaimana mestinya. Karena itu, prinsip halal-haram harus diimbangi oleh prinsip baik-buruk (halalan-thoyyiban) agar keadilan sungguh-sungguh dapat diwujudkan dalam praktik yang nyata.
Sekarang akhlak bangsa kita tengah merosot serius. Orang beragama hanya sibuk dengan urusan halal-haram saja. Demikian pula dalam kegiatan bernegara, yang sibuk dibicarakan hanya lah urusan benar-salah.
Semua aparat penegak hukum sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak perduli dengan urusan baik-buruk dalam proses penegakan hukum. Para penentu kebijakan di lingkungan cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif juga hanya sibuk dalam urusan benar-salah yang dapat diakali atau dirasionalisasi berdasarkan penalaran untuk mencari pembenaran (motivated reasoning), bukan untuk menemukan kebenaran.
Kasus-kasus untuk menggambarkan terjadinya kemerosotan dalam sistem etika berbangsa dan bernegara dewasa sungguh sangat banyak dan nyata.
Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan semua organisasi keagamaan perlu tampil untuk mempromosikan pentingnya mengutamakan agenda pembangunan kualitas akhlak bangsa dengan mendukung gagasan penataan sistem etika dan pembentukan Mahkamah Etika Nasional (MEN) di masa mendatang.
Sudah saatnya, norma akhlak dijabarkan menjadi lebih operasional sebagai etika terapan (applied ethics) dalam praktik organisasi bernegara dan dunia profesi. Bahkan sistem etika yang dikenal dewasa ini, dalam bahasa Arabnya tidak lain adalah adab.
Dalam perkembangan sistem etika profesi dalam sejarah, adalah ar-Ruhawi yang pertama pada abad ke-9 memperkenalkan sistem etika kedokteran dalam bukunya “Adabu at-tabieb” (Medical Ethics).
Karena itu, MUI bersama-sama dengan ormas-ormas Islam dan organisasi-organisasi keagamaan pada umumnya sudah sepatutnya menjadi pelopor untuk mempromosikan upaya penataan sistem etika dan pembentukan Mahkamah Etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepeloporan itu juga dapat diprakarsai oleh jaringan lembaga-lembaga penegak kode etik, baik di lingkungan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan maupun di lingkungan organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan serta organisasi bisnis untuk maksud menjadikan masalah etika berbangsa dan bernegara ini sebagai kesadaran nasional, sehingga mudah diadopsikan menjadi kebijakan resmi bernegara.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi dan demokrasi, sudah pula seharusnya mempelopori ide pembentukan Mahkamah Etika Nasional itu dengan menjadikan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai proyek-percontohan.
Demikian pula Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang sejak awal berdirinya saya perkenalkan sebagai lembaga peradilan etika pemilu pertama di dunia, juga sebaiknya bersama-sama dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan juga Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengembangkan jaringan kepeloporan untuk membangun infra-struktur sistem peradilan etika nasional di masa depan.