UM Surabaya

Pentingnya “Rule of Ethics” Dan Peradilan Etik

Dalam pelbagai forum, saya sendiri juga terus menerus mempromosikan pentingnya sistem etika berbangsa dan bernegara serta gagasan pembentukan Mahkamah Etika Nasional. Atas Kerjasama antara MPR-RI dengan Komisi Yudisial dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah pula 2 kali diadakan Konvensi Nasional I dan II tentang Etika Berbangsa, sekaligus dalam rangka sosialisasi Ketetapan MPR No. VI/MPR/Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menghasilkan rekomendasi mengenai pentinganya pembentukan Mahkamah Etika Nasional.

Sekarang, sudah saatnya bangsa Indonesia mempelopori berkembangnya praktik penerapan sistem etika berbangsa dan bernegara dengan didukung oleh infra-struktur peradilan etika yang modern dan terpercaya.

Dalam buku Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics, dan Constitutional Law and Constitutional Ethics (2014) [Jimly Asshiddiqie, Pertadilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule of Ethics, dan Constitutional Law and Constitutional Ethics, Sinar Grafika, Jakarta, 2014) saya telah menguraikan munculnya perkembangan baru berkenaan dengan sistem etika bernegara dan sistem peradilan etika yang dibutukan untuk mendukung dan melengkapi kekurangan sistem hukum dan peradilan hukum di masa depan.

Di seluruh dunia, dewasa ini, berkembang adanya praktik penegakan kode etika di lingkungan-lingkungan jabatan-jabatan publik, baik di sektor jabatan negara dan pemerintahan pada umumnya, maupun di lingkungan jabatan-jabatan public, seperti jabatan profesi untuk kepentingan public, seperti advokat, notaris, akuntan publik dan lain-lain, maupun di lingkungan organisasi-organisasi bisnis, organisasi kemasyarakatan, dan bahkan di lingkungan organisasi partai-partai politik.

Dewasa ini, perkembangan sistem etika itu tidak lagi dipahami sebagai persoalan privat yang terkait terhadap ajaran agama, tetapi sudah diterima sebagai kebutuhan nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam perilaku berorganisasi pada umumnya.

Perkembangan Sejarah pemahaman mengenai etika publik itu dapat dikatakan sudah melampaui tahapan perkembangan sebagai berikut:

1.Tahap perkembangan etika teologis;
2.Tahap perkembangan etika ontologis;
3.Tahap perkembangan etika positivist;
4.Tahap perkembangan etika fungsional;
5.Tahap perkembangan sistem peradilan etika.

Kelima tahapan perkembangan tersebut sudah saya uraikan dalam buku “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi” sebagaimana dikemukakan di atas, yang tidak perlu saya uraikan rinciannya di sini.

Yang pasti adalah bahwa sistem infrastruktur etika jabatan-jabatan publik ini dewasa ini sudah menjadi kebutuhan nyata untuk melengkapi dan membantu beban sistem hukum untuk mengendalikan kualitas perlaku yang diidealkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kita harus menata sistem hukum (rule of law) dan sekaligus juga sistem etika berbangsa dan bernegara (rule of ethics). Apalagi Ketetapan MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sampai sekarang masih berlaku resmi secara hukum. Karena itu, Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR No.VI/2001 itu sama-sama harus diperlakukan sebagai satu kesatuan sumber etika tertinggi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara (supreme source of ethics).

Bahkan di Amerika Serikat, semua lembaga negara dan badan-badan pemerintahan sudah menerapkan sistem kode etik dengan dilengkapi oleh institusi-institusi penegak kode etik itu dalam praktik.

Di 50 negara bagian di Amerika Serikat juga sudah terbentuk kode etikanya sendiri-sendiri dengan didukung oleh ‘permanent ethics commission’ di 42 negara bagian. Hanya di 8 negara saja, yang institusi penegak kode etiknya bersifat adhoc.

Demikian pula di semua lembaga negara sudah memiliki standar perilaku dan kode etiknya masing-masing. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menerapkan sistem kode etik ini di semua organ PBB. Bahkan PBB juga merekomendasikan kepada semua negara anggota PBB untuk mengembangkan apa yang dinamakan sebagai “ethics infra-structure for public offices”.

Hanya saja, proses penegakan kode etik itu, dimana-mana di seluruh dunia, masih dipersepsikan sebagai masalah privat, sehingga proses persidangan dalam memeriksa dugaan pelanggaran kode etik masih dilakukan secara tertutup.

Nanti setelah diputus, barulah putusannya diumumkan secara terbuka. Yang dijadikan kendala adalah warisan pengertian tentang etik yang pemberlakuannya didasarkan atas kesukarelaan sendiri atau didasarkan atas kesadaran sendiri para pelaku.

Yang tidak dilihat justru adalah persoalan jabatan publiknya, yang menyangkut “public interests” atau kepentingan umum yang tidak lain merupakan hak publik atau “public goods”.

Karena itu, proses pemeriksaan dan pembuktiannya harus bersifat terbuka sebagaimana diberlakukan dalam sistem peradilan modern. Karena itu semua prinsip dan asas peradilan modern harus diterapkan secara berkesamaan dalam konteks sistem peradilan etik. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan sebagai pelopor dalam mengembangkan dan mempraktikkan sistem peradilan etika di zaman sekarang.

Misalnya, persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dapat dipersoalkan apakah idealnya bersifat terbuka atau tertutup. Jika pada prinsipnya, persidangan majelis kehormatan dinyatakan harus bersifat tertutup, maka ketertutupan itu semata-mata diadakan untuk kepentingan para hakim terlapor atau teradu, bukan untuk kepentingan pelapor atau sumber-sumber temuan kasus dugaan pelanggaran kode etik.

Pemeriksaan terhadap hakim terlapor atau teradu harus menghindar dari kemungkinan mempermalukan hakim terlapor atau teradu, sehingga harus dinyatakan tertutup. Namun, bagi para pelapor, kepentingan yang hendak dijamin oleh keharusan sidang tertutup itu sama sekali tidak ada, sehingga adalah hak para pelapor atau pengadu untuk memberikan keterangan melalui persidangan yang bersifat terbuka.

Karena itu, persidangan untuk mendengarkan keterangan para pelapor, pengadu atau nara-sumber lainnya dapat saja diadakan pengecualian melalui persidangan yang bersifat terbuka untuk umum, meskipun pada prinsipnya, persidangan majelis kehormatan itu pada prinsipnya ditentukan bersifat tertutup.

Namun, dalam konteks pengertian peradilan modern yang mengidealkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, maka sebaiknya persidangan majelis kehormatan ataupun lembaga penegak kode etik lainnya untuk menegakkan kehormatan dan mengawal kepercayaan publik, pada prinsipnya, haruslah bersifat terbuka.

Namun, dalam pelaksanaan prinsip keterbukaan itu, tentu harus pula dipertimbangkan adanya kepentingan untuk menjaga hak dan kehormatan para hakim terlapor atau terduga yang berjumlah 9 orang untuk tidak dipermalukan di depan sidang terbuka.

Dalam hal demikian, maka bagi para hakim terlapor, prinsip persidangan terbuka dapat dikecualikan, sehingga pemeriksaan terhadap hakim terlapor atau terduga dapat diselenggarakan secara tertutup.

Prinsip keterbukaan dengan pengecualian inilah yang seharusnya diidealkan dalam pengaturan mengenai tata-cara persidangan lembaga-lembaga penegak kode etik yang dikonstruksikan sebagai peradilan modern untuk menegakkan kehormatan pejabat publik dan mengawal kepercayaan terhadap institusi publik.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini