UM Surabaya

Menata Sistem Etika 

Sekarang, sudah saatnya menata sistem etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tidak perlu semuanya diselesaikan melalui pendekatan hukum, apalagi melalui peradilan sebagai “ultimum remedium”, yaitu sebagai upaya terakhir dalam menyelesaikan beraneka masalah bangsa dan negara.

Akhlak, adab, dan etika bedrbangsa dan bernegara sudah saat dibenahi dengan baik untuk melengkapi sistem hukum yang sudah sangat sarat akan beban. Apalagi, lembaga-lembaga penegak kode dalam praktik dewasa ini, sudah sangat banyak adanya.

Institusi penegak kode etik yang sudah ada sangat beraneka-ragam bentuk dan mekanisme kerjanya, sehingga dewasa ini dirasakan perlunya penataan dan pembinaan yang bersifat terpadu.

Di samping itu, banyak kasus, dimana penyelesaian dugaan pelanggaran kode etik yang diselesaikan oleh masing-masing lembaga tidak memuaskan pihak yang diberikan sanksi tanpa adanya forum yang lebih tinggi untuk melakukan upaya banding atau bahkan kasasi.

Misalnya, dalam kasus pengacara terkenal Dr. Todung Mulia Lubis yang pernah dipecat oleh PERADI, karena tidak puas ia bersama beberapa advokat senior lainnya mendirikan KAI (Kongres Advokat Indonesia) sebagai organisasi yang tersendiri, sehingga sampai sekarang prinsip ‘single bar’ yang diatur dalam UU Advokat dalam praktik berubah menjadi ‘multi bar’.

Banyaknya organisasi profesi advokat dalam kenyataan praktik, tidak lain merupakan pelanggaran UU secara berjamaah. Namun, semua aparat penegak hukum, mulai dari para hakim, advokat, dan penegak hukum lainnya, seperti polisi dan kejaksaan, menerima saja kenyataan praktik ‘multi-bar’ ini, padahal sangat bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang masih terus berlaku sampai sekarang yang mengharuskan keberadaan organisasi advokat sebagai ‘single-bar’.

Demikian pula di bidang kesehatan, Dr. Terawan, mantan Menteri Kesehatan dipecat dari keanggotaan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dia tidak dapat menerima putusan yang sangat ektrim itu, dan melahirkan perlawanan dari banyak kalangan yang membela dr. Terawan, sehingga lahirlah Undang-Undang Kesehatan yang baru yang sangat tidak menguntungkan bagi posisi IDI.

Hal itu dapat terjadi karena tidak adanya forum tempat dr. Terawan ataupun Todung Mulia Lubis mengadukan keberatannya terhadap putusan lembaga penegak kode etik itu. Karena itu dipandang perlu dibentuknya sebuah lembaga peradilan tingkat puncak, tempat para pencari keadilan mengadukan masalah yang timbul akibat putusan lembaga penegak kode etik yang dianggap tidak adil.

Di samping itu, cara kerja lembaga-lembaga penegak kode etik yang ada dapat dikatakan masih konvensional, tertutup, dengan asumsi lama bahwa masalah etika adalah masa private yang tidak boleh dibuka keluar.

Padahal, yang harus dipersoalkan bukan sekedar persoalan etikanya, tetapi yang jauh lebih penting adalah kehormatan institusi-institusi dan jabatan-jabatan publiknya yang semua orang berhak untuk mendapatkan akses, sesuai dengan prinsip kebebasan informasi publik.

Apalagi, sekarang kita sudah berada di zaman keterbukaan. Komunikasi social berlangsung terbuka dan dalam waktu yang sangat cepat menyebarkan pelbagai macam informasi. Jika ada orang yang dituduh melanggar kode etik, tidak ada orang yang dapat menghalangi bahwa tuduhan itu dalam waktu yang sangat singkat pasti sudah menyebar luas ke mana-mena melalui media sosial yang tanpa batas.

Jika orang yang dituduh secara terbuka demikian tidak diberi kesempatan membela diri juga secara terbuka, bagaimana mungkin kita dapat menegakkan keadilan etika? Sidang tertutup pasti tidak dapat menyelesaikan kerusakan citra yang berhubungan erat dengan reputasi dan kredibilitas seseorang karena tuduhan yang tidak berdasar.

Apapun yang diputuskan di dalam sidang tertutup pasti menyisakan banyak dugaan. Bahkan dalam praktik, banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa sidang etika yang tertutup itu menjadi alasan untuk adanya penyelesaian secara “adat” dengan konotasi negatif.

Oleh sebab itu, sekarang sudah saatnya kita memperkenalkan dan mempromosikan pentingnya sistem peradilan etika yang berpuncak pada Mahkamah Etika Nasional (MEN). Mahkamah Etika ini idealnya dapat dibentuk dengan terlebih dahulu mengadakan Perubahan UUD, khususnya terkait dengan upaya penataan dan penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari agenda pelembagaan infrastruktur peradilan etika.

Komisi Yudisial dalam rumusan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, diberi tambahan kewenangan “… dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim”, yaitu ditambah dengan anak kalimat “… dan pejabat publik lainnya”.

Komisi Yudisial diperkuat untuk menangani upaya penegakan etika berbangsa dan bernegara yang terkait dengan para pejabat publik pada umumnya, dengan menyalurkan perkara-perkara kasasi peradilan etika yang diputus oleh Mahkamah Etika Nasional dengan putusan pada tingkat tertinggi atau terakhir yang bersifat final dan mengikat.

Namun, jikalau agenda Perubahan UUD dinilai sulit dan tidak realistis dalam waktu dekat, maka pembentukan Mahkamah Etika Nasional itu dapat saja dibentuk dengan undang-undang, yaitu UU tentang Sistem Etika dan Mahkamah Etika Nasional.

Untuk itu, dapat diusulkan agar DPR-RI memprakarsai pembentukan UU tentang Sistem Etika dan Mahkamah Etika Nasional tersebut sesuai dengan prosedur pembentukan undang-undang sebagaimana mestinya.

Namun, kewenangan yang sudah ditentukan tersebut masih bersifat terbuka untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 24B ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang”.

Karena itu, kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial, seperti halnya kewenangan Mahkamah Agung, bersifat terbuka, dapat ditambahkan oleh undang-undang. Hal itu berbeda dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang bersifat tertutup, tidak dapat ditambah-tambah, termasuk oleh undang-undang.

Dengan demikian, jika pembentukan Mahkamah Etika Nasional itu hanya didasarkan atas undang-undang, maka tentunya, kedudukan konstitusional Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tetap tidak berubah.

Namun, untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku pejabat publik lainnya dapat saja diatur oleh undang-undang.

Namun, terkait dengan pejabat publik selain hakim, Komisi Yudisial tidak membuat putusan sendiri, melainkan mengelola dan meneruskan laporan atau pengaduan banding atau kasasi perkara etika pejabat publik untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Etika Nasional dengan putusan yang bersifat final dan mengikat.

Selain itu, Komisi Yudisial juga dapat diberi tugas untuk mengembangkan sistem pembinaan terhadap lembaga-lembaga kode etika secara menyeluruh dan terpadu.

Sebagai forum peradilan, maka segala prinsip-prinsip yang berlaku di dunia peradilan hukum harus diterapkan juga dalam proses peradilan etika. Misalnya, prinsip audi et alteram partem, bahwa semua pihak harus didengar atau diberi kesempatan untuk didengar.

Demikian pula prinsip transparansi dan keterbukaan peradilan, juga harus dipraktikkan dalam proses penegakan kode etika di semua lingkungan organisasi negara dan pemerintahan (Orneg), organisasi bisnis (Orbis), dan organisasi Masyarakat (Ormas).

Dengan demikian dunia ilmu hukum juga harus menambah khazanah baru dalam objek kajiannya, yaitu sistem aturan etika dan sistem peradilan etika.

Fakultas hukum perguruan tinggi di seluruh Indonesia harus mengadakan mata kuliah “Sistem Etika dan Peradilan Etik” yang tersendiri yang mengajarkan materi sistem kode etik sebagai aturan etika materielnya dan sistem beracaranya dalam proses peradilan sebagai aturan etika formalnya, seperti halnya hukum materiel dan hukum formil (hukum acara) di dunia peradilan hukum.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini