Peradilan Etika, Peradilan Pidana , dan Peradilan TUN
1. Peradilan etika beririsan dengan (i) peradilan pidana, dan (ii) peradilan tata-usaha negara, khususnya apabila pelanggaran etika tersebut dilakukan oleh pejabat negara atau pemerintahan.
1.1. Peradilan etika dan peradilan pidana sama-sama berurusan dengan kualitas perilaku individu. Namun, sesuai dengan prinsip bahwa hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), maka pendekatan etika ini harus didahulukan tanpa menghilangkan hak untuk dilakukannya proses peradilan pidana.
Akan tetapi dalam praktik, apabila sistem etika sudah efektif bekerja, pada umumnya, upaya hukum pidana dianggap tidak diperlukan lagi.
1.2.Putusan peradilan etika juga beririsan dengan peradilan tata usaha negara, terutama apabila sanksi yang dijatuhkan adalah pemecatan atau pemberhentian dari jabatan di lingkungan pemerintahan yang dapat dijadikan objek perkara (objectum litis) di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara yang menilai pelanggaran hukum seringkali bertentangan dengan pelanggaran kode etik yang dinilai oleh pengadilan etika. Yang satu memberhentikan, yang lain dapat menjatuhkan putusan memulihkan yang bersangkutan untuk kembali menduduki jabatannya.
2. Sebagaimana dikemukakan di atas, hakim peradilan etika menilai ada tidaknya pelanggaran etika, sedangkan hakim peradilan hukum menilai ada tidaknya pelanggaran hukum.
Keduanya berada dalam ranah yang berbeda, yaitu antara norma etika dan norma etika yang tidak boleh dicampur-adukkan satu sama lain. Segala sesuatu yang melanggar hukum besar kemungkinan adalah juga merupakan pelanggaran etika.
Namun, sesuatu pelanggaran etika tidak selalu harus diidentikkan dengan pelanggaran hukum. Karena itu, hakim peradilan hukum tidak dapat menilai substansi putusan peradilan etika, termasuk hakim peradilan pidana atau hakim peradilan tata usaha negara tidak dapat menilai putusan peradilan tentang pelanggaran kode etika.
Dengan perkataan lain, meskipun putusannya mungkin saling beririsan, putusan hakim peradilan etika tidak dapat dinilai oleh hakim peradilan pidana dan peradilan tata usaha negara.
Jika misalnya Pengadilan Tata Usaha menerima perkara yang mengharuskannya memeriksa dan menilai putusan pengadilan etika, maka sudah seharusnya hakim pengadilan TUN tersebut menyatakan permohonan atau gugatan tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke verklaard) karena objek perkaranya tidak termasuk kewenangan pengadilan TUN.
Demikianlah pengenalan mengenai pentingnya the rule of ethics dan the court of ethics serta penataan infra-struktur sistem peradilan etika berbangsa dan bernagara untuk mengawal kualitas dan integritas negara hukum dan demokrasi Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.Jakarta, Desember, 2023. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News