UM Surabaya

Pra Kemerdekaan

Siapa yang tidak mengenal Moh. Husni Thamrin (1894-1941) dalam belantara Masyarakat Sejarah Indonesia? Kakek keturunan English dan dari ibu genetik darah Betawinya mengalir. Tak ada yang meragukan sikap kepedulian terhadap rakyat kecil Betawi masuk katagori kelas “Inlanders” dalam tatanan masyarakat kolonial ciptaan Kerajaan Protesthan Belanda.

Mereka terjepit dan terhimpit hidupnya akibat sistem pemerintahan yang tidak berkeadilan. Secara ekonomi diperas sampai ke tulang sumsum dengan sistem Tanah Partikelirnya dan secara kejiwaan dihina dan terhinakan sebagai rakyat “Kelas Emperan”.

Tokoh pejuang yang bersifat Kooperatif ini sangat vocal memperjuangkan nasib rakyat pribumi melalui semacam Dewan Rakyat (Volskraad) (1929). Yang paling ditakutkan Belanda justru keras dalam prinsip akan tetapi lemah dan santun dalam menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya adalah menuntut Indonesia Merdeka dan Berdaulat.

Beliau bisa bergaul dengan tokoh-tokoh non-kooperatif sekelas Soekarno, Subardjo, Cipto Mangunkusumo, Soekarni, Agus Salim, Muhammad Yamin, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Syahrir, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, Moh. Rum, dllnya.

Dipersiapkan orang tuanya sebagai Abtenar Birokrat akan tetapi jiwanya lebih cendrung kepada pergerakan yang terpanggil melihat Rakyat Betawi yang tertatih-tatih menghadapi perubahan sosial di mana pelakunya adalah bangsa penjajah yang menganakemaskan kelompok “Asing Timur” sebagai masyarakat “perantara” kelas 2.

Untuk itulah dengan teman-temannya seperti Mohammad Rochjani Su’ud, dan Muhammad Thabrani mendirikan perkumpulan Kaoem Betawi (1927). Kalau juga mau disebutkan kelemahannya adalah beliau tidak “dekat” pergaulannya dengan “Elite Masyarakat Betawi”. Singkat kisah mempertimbangkan jasaa-jasanya kepada NKRI, beliau dianugrahkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 28 Juli 1960.

Ada satu lagi yang kurang begitu mendapat perhatian penulis sejarah Mazhab Nasionalis Islam yang memperjuangkan NKRI berdaulat ini adalah Guru Mansur (w. 1967). Koran Asia Raya mengkhobarkan bahwa beliau bersama 10 tokoh Islam ( lihat Api Sejarah jilid 2) mengusulkan kepada Jepang supaya mendirikan Milisi Semi Meliter Islam untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia dari Tentara Sekutu bagi kemenangan Perang Asia Fasifik.

Guru Manshur juga berperang aktif memimpin santri dan rakyat Jakarta melawan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia para periode Revolusi Fisik (1945-1949). Dari beliau inilah keluar istilah “Betawi Rempug” diartikan mari rakyat Betawi Bersatu untuk memperoleh kemenangan melawan NICA Belanda yang dibonceng pasukan Sekutu. Dia memasang bendera Merah Putih di atas bumbungan Mushola yang sekarang menjadi masjid dengan hujanan peluru ditembakkan pasukan Belanda.

Lihatlah Guru Mughni (w. 1935) Guru Para Ulama Betawi ini dikenal dengan perjuangannya melalui para muridnya dengan materi ajar yang diberikan “Bab Jihad”. Melawan penjajah yang kafir merupakan wajib ‘ain setiap muslim yang sanggup baik mengangkat senjata dengan lisan dan do’a. Salah satu muridnya yang terkenal sebagai tokoh pejuang kemudian hari adalah Nur Ali dikenal dengan “Singa Bekasi”.

Dan ajaran Jihad ini merupakan “kawah Candara di muka” ketika para muqimin studi di Haramain (Mekkah Madinah). Dari sinilah “Ruh Jihad” itu ditanamkan para Guru mereka di sana (Lihat Azra, 1992). Sampai-sampai Pemerintah Belanda mengirim Abdul Ghafar nama samaran Christian Snouck Horgonje (w. 1936) tahun (1884-1885) untuk menyelidik apa asupan materi ajar yang didapat para Haji dan Muqimin ketika belajar di sana.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini