Ulama Betawi dari kalangan Arab dikenal dengan Tiga Serangkai Al-Habib Ali Kwitang (w. 1968), Al-Habib Ali Bungur (w. 1976), dan Al-Habib Salim Jindan (w. 1969). Ketiga Ulama Habaib Betawi berjuanga dengan cara-caranya masing sebagaimana telah penulis sebut dalam “Ulama Betawi Habaib”,

Habib Ali Kwitang berani melawan penjajah Belanda di Jakarta dengan mendirikan Lembaga Pendidikan “Majelis Taklim” awal Abad ke-20 dan “Sekolah Klasikal” untuk kaum Laki dan Perempuan yang pada waktu itu masih berlaku Ordinansi Guru tahun 1905-1925, di mana intel Belanda baik intel “hitam” maupun intel “putih” selalu mengawasi dengan ketat.

Ali Bungur dengan materi ajar Ruh Jihadnya. Lalu ada Salim Jindan seorang Ulama Orator yang berani mengkritisi penjajah sehingga tidak heran ulama ini langganan ke luar masuk penjara Jepang.

Begitu juga keluarga al-Sahab mendirikan Lembaga Pendidikan Klasikal bernama “Jam’iyah al-Khair” tahun 1905 dan izin keluarnya baru sepuluh tahun kemudian 1915 yang sampai sekarang masih tetap eksis berjalan.

KH. Muhammad Yunus Anis Ketua PP Muhammadiyah 1959-1963 pernah ikut belajar walaupun tidak regular di sekolah ini. Semua aktivitas Tokoh-Tokoh rakyat Betawi di atas diniatkan untuk perlawanan terhadap penindasan sistem penjajahan.

Pasca Kemerdekaan

Proklamasi Kemerdekaan NKRI diproklamirkan pada Ramadan/17 Agustus 1945 dengan cita-cita para pendirinya adalah tegaknya keadilan sosial-ekonomi berkesejahteraan dan keadilan sosial-hukum bagi seluruh warga NKRI.

Apa mau dikata yang rapat di Jerman tahun 1945 memutuskan bahwa para pemenang PD II disebut Sekutu boleh mengambil kembali negara bekas jajahannya. Semacam tukar guling saja. Sedangkan yang Merdeka rakyat Indonesia sudah bosen makan bogem penjajah. Maka itu ketika Belanda datang atas nama NICA tahun 1945 digendong Sekutu dan muncul beragam reaksi rakyat.

Umumnya respons terbesar adalah mengangkat senjata dan tidak mau kembali dijajah apapun yang terjadi. Proklamator bingung menghadapi situasi yang ada. Tentara Keamanan Rakyat (TKR terakhir berubah menjadi TNI) baru terbentuk dan admin negara masih lemah. Lemah SDM dan lemah pula alusistanya seadanya sebagai sebuah negara baru merdeka dan berdaulat.

Dalam konteks inilah pentingnya kehadiran Jend. Soedirman, Panglima TNI Guru Muhammadiyah dan Hizbul Wathon, didikan Kepanduan Muhammadiyah, dikirim Presiden RI Soekarno-Hatta ke Jombang Jatim menemui Mbah Hasyim Asy’ari untuk mengkhobarkan situasi dan kondisi NKRI yang sangat genting ini. Dari sinilah asbab al-nuzul lahir Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 itu. Apa dampaknya?

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini