Setelah proklamasi kemerdekaan para pemuda Jakarta bergerak untuk menyebarkan berita proklamasi. Bukan hanya ke kampung-kampung di Jakarta, tapi berbagai pelosok Tanah Air. ”Lebih baik mati daripada dijajah kembali,” ungkapan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Situasi pada 1945 makin memanas ketika pasukan NICA dengan membonceng Sekutu kembali ke Indonesia. Semua kampung di Jakarta kala itu membentuk kubu-kubu pertahanan berupa kawat berduri dan bambu runcing. Sehingga kalau ada tentara NICA yang masuk kampung lalu terdengar suara komando, Siaaap. Karenanya zaman itu juga dinamakan ‘zaman siap’, kenang Alwi Shihab.

Mengingat peristiwa tersebut sudah berlangsung 78 tahun lampau dan sudah jarang sekali yang mengalaminya. Ada baik diingatkan kembali bagaimana kekejaman serdadu NICA pada saat revolusi. Mereka menembaki orang yang kelihatan mencurigakan.

Untuk itu Presiden Soekarno mengumumkan supaya rakyat tidak ke luar rumah setelah pukul delapan malam. Catatan dalam Arsip Nasional saja delapan ribu (8.000) rakyat telah dibunuh antara September dan Desember 1945.

Alwi Shahab, wartawan dan penulis Sejarah amatir Betawi, mengisahkan kesaksiannya bahwa waktu itu beliau berusia 9 tahun melihat pemuda-pemuda di Kampung Kwitang yang berusia lima dan enam tahun di atas saya, ikut terjun sebagai tentara pelajar meski harus memanggul bambu runcing. Banyak di antaranya mengembuskan napas terakhir akibat peluru NICA.

Pada waktu itu para ibu di kampung-kampung mendirikan dapur umum untuk para pejuang. Belum dikenal istilah korupsi sehingga dalam membela tanah air mereka rela menyumbangkan harta kekayaan yang dimiliki. Demikinlah peran Perempuan Betawi tidak bisa dianggap remeh ternyata mereka inilah menyiapkan aspek konsumsi untuk para pejuang.

Di Jakarta seluruh rakyat dipimpin para tokoh agama melakukan perlawanan mengangkat senjata. Jadi peranan dakwah yang dilakukan para ulama tidak hanya lisan dan pembelajaran di kelas belaka, namun langsung mendirikan suatu badan perjuangan dalam satu laskar, seperti; K.H. Achmad Mursyidi (w. 2003) di Kelender Jakarta Timur (ketua KNI Jakarta Timur) dengan nama BARA (Barisan Rakyat) dengan beberapa tokoh ulama lainnya seperti K.H. Muhammad Darip (w. 1981) dan K.H. Hasbullah.

Laskar santri dan pemuda BARA ini, dengan pucuk pimpinan berada di tangan Darip, pimpinan organisasi dan pengerahan massa Achmad Mursyidi, pimpinan komando pertahanan berada di tangan Hasbullah. Dan pondok pesantren dijadikan sebagai pusat markas tentara BARA Jakarta Timur dan pintu gerbang pertahanan untuk daerah Wilayah Timur Jakarta.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini