Anggota laskarnya terdiri dari 150 orang santri dan pemuda yang tinggal di markas Kelender dan beberapa anggota lainnya yang berada di Jakarta Timur sekitarnya, seperti para pemuda Kramat Jati di bawah pimpinan K.H. Ahmad Sasih, para pemuda Pondok Bambu, para pemuda Pondok Gede di bawah pimpinan H. Tabrani dan banyak para pemuda dari Jakarta Selatan di bawah pimpinan K.H. Ali Sibromalisi (w. 1996).
K.H. Noer Ali di Ujung Harapan-Bekasi mendirikan satu badan perjuangan Barisan Hizbullah/Sabilillah semi meliter gabungan laskar santri dan pemuda di Tanjung Priok. K.H. Abdullah Azis bin Abdul Azis–Tanjung Priok Jakarta Utara (ketua KNI Jakarta Utara) memimpin laskar Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Kemudian jaringan perjuanganpun dibentuk melalui strategi kerja sama sebagai laskar pertahanan daerah Jakarta Utara di bawah pimpinan K.H. Abdullah Azis, Jakarta Timur K.H. Achmad Mursyidi dan daerah Bekasi K.H. Noer Ali.
Guru Mansur– Jembatan Lima – Jakarta Barat, seperti penulis katakana di atas, beliau memimpin sebuah laskar santri yang dibentuk sebelum masa revolusi. Pada masa Revo;usi Fisik (1945-1949) laskar ini tidak terbatas hanya para santri dari pondok pesantren saja tetapi meluas pada masyarakat di sekitarnya.
Laskar santri inilah satu-satunya laskar di Jakarta yang tidak mau angkat kaki dari daerah pertahanannya sampai pada saat pertempuran habis-habisan di sekitar masjid Kampung Sawah dan pesantren tersebut yang berakhir dengan tertangkapnya Guru Mansur.
K.H. Mas’ud Kebon Jeruk Jakarta Barat, pada masa revolusi beliau adalah seorang mubaligh dan pejuang. Dampak positifnya yang timbul dalam masyarakat Kebon Jeruk dari dakwah K.H. Mas’ud adalah bangkitnya para pemuda untuk berjuang dan bergabung dengan laskar-laskar rakyat yang ada di daerah sekitarnya, seperti laskar Hizbullah/Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Zaini di Kampung Tanah Koja – Cengkareng – Jakarta Barat.
K.H. Ali Sibromalisi Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada masa revolusi beliau juga seorang mubaligh. Beliau adalah salah seorang ulama pejuang yang memimpin aksi pemuda selalu mengadakan teror-teror terhadap tantara Jepang yang sedang menjalankan status quo yaitu dengan merampas senjata-senjatanya maupun terhadap tentara-tentara Sekutu yang sedang merebut tempat-tempat penting di Jakarta.
Jangan dilupakan Pahlawan Betawi Ismail Marzuki (1914-1958) dikenal dengan panggilan Bang Maing. Pria kelahiran Kampung Kwitang Senin ini berperan penting dalam khazanah kebangsaan Indonesia adalah meneruskan jiwa patriotik bagi perjuangan kemerdekaan melalui profesi Musisi dan Komponis.
Beliau hidup pada masa kolonial Belanda, Jepang dan Revolusi Fisik. Beliau anti penjajah sebab itu tidak menjadi kolaborator Belanda. Ketika zaman Jepang beliau mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajah Jepang. Lalu periode Revolusi Fisik beliau mendorong semangat patriotik para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Penulis ingin mengutip salah satu lirik lagu dari 250 lagu yang berjiwa patritotik Bang Maing adalah lagu “Sepasang Mata Bola”. “Hampir malam di Jogya, Ketika kereta ku tiba, Remang-remang cuaca, Terkejut aku tiba-tiba. Dua mata memandang, Seakan-akan dia berkata, Lindungi aku pahlawan, Dari si angkara murka, Sepasang Mata Bola, Dari Balik jendela, datang dari Jakarta menuju medan perwira……”