Dalam konteks inilah penulis bisa memahami mengapa Ismail Marzuki mendapat penghargaan Pahlawan Nasional pada 5 November 2004 dan namanya diabadikan menjadi Taman Ismail Marzuki oleh Gubernur waktu itu Ali Sadikin.

Lalu bagaimana dengan pejuang wanita Betawi yang lain? Penulis ingin mengambil contoh misalnya ada Mak Kinang dan Mak Manih. Kedua Wanita Betawi ini berjuang melalui seni tari yang dikenal degan tari Topeng Khas Betawi.

Mak Kinang dikenal sebagai Maestro Tari Topeng Betawi pada masa itu meneruskan tradisi kedua orang tuanya, Kisam dan Nasah, pegiat seni tradisional Betawi. Tari Topeng Tunggal merupakan rumpun Tari Topeng Khas Betawi yang diciptakan pasangan suami istri Mak Kinang dan Kong Djioen pada tahun 1930-an.

Pada awalnya tari ini berfungsi untuk mengusir bala bencana dari Masyarakat. Kemudian berubah fungsinya menjadi hiburan selain fungsi integrasi (solidaritas), komunikasi dan ajang keberanian. Sedangkan Mak Manih diteruskan anak turunannya mengembangkan tari tradisional Betawi dengan mendirikan Yayasan Sanggar Mak Manih.

Tentulah banyak lagi Perempuan Pejuang Pembangunan Betawi. Coba perhatikan dengan saksama aktivitas Putri KH. Abdullah Syafii ini, Prof. Dr. Tuti Alawiyah AS (w. 2016), Pengasuh Majelis Taklim Kaum Perempuan Betawi dan Lembaga Pendidikan As-Syafiiyah. Pernah menjabat Menteri Perempuan dalam Kabinet Orde Baru 1998-1999.

Lalu lihat kegiatan yang full dari Dr. Siti Suryani Thahir (w. 2015) Ulama Perempuan Penggagas Majelis Taklim Perempuan Betawi dan tidak kurang ada 60 buah di bawah binaannya.

Penulis ingin mengutip pepatah Betawi bahwa “menguasai perempuan artinya menguasai Indonesia, menguasai perempuan Betawi artinya Anda menguasai Jakarta”. Hal ini menjelaskan bahwa betapa penting artinga pemberdayaan Perempuan di lingkungan rakyat Betawi.

Demikinalah uraian di atas sedikit banyak membantu menjelaskan perjuangan para tokoh Betawi di Ibu Kota negara tanah kelahiran mereka. Tidak bisa dikatakan lengkap karena masih banyak tokoh pejuang Muslim Betawi yang belum diangkat ke media cetak karena satu dan lain hal. Sedangkan kecendrungan sekarang baru dianggap pahlawan kalau berperang mengangkat senjata. Pada hal kita tahu jihad di bidang ekonomi financial dan sosial-lingkungan tidak kalah pentingnya.

Penulis pikir sudah waktunya para elite Betawi mengambil inisiatif yang sistemik dan terukur untuk menyiapkan sebuah rencana besar mengangkat dan menginventarisir tokoh-tokoh Pejuang Muslim Betawi dari beragam profesi dan lintas budaya dengan sebaran wilayahnya. Allah ‘Alam bi as-Shawab. (*)

*) Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini