UM Surabaya

Allah pun membuka jalan kepada ibu Musa sendiri. Sejak itu Nabi Musa dekat dan hidup dekat dengan ibunya. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:

وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَا ضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَا لَتْ هَلْ اَدُلُّـكُمْ عَلٰۤى اَهْلِ بَيْتٍ يَّكْفُلُوْنَهٗ لَـكُمْ وَهُمْ لَهٗ نٰصِحُوْنَ

“dan Kami cegah dia (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah dia (saudaranya Musa), “Maukah aku tunjukkan kepadamu, keluarga yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik padanya?” (QS. Al-Qasas : 12)

Ketika para perempuan tak berhasil menaklukkan Musa maka Allah pun memuluskan saudara perempuan Musa sebagai penunjuk jalan untuk mengabarkan adanya seorang ibu yang mampu menyusui bayi yang diasuh Fir’aun.

Kembalinya Musa kepada ibunya merupakan janji Allah untuk mendekatkan kembali bayinya guna memuluskan rencana Allah untuk mengakhiri kedzaliman Fir’aun.

Tentu saja, ibu nabi Musa tertatih-tatih untuk menjalankan perintah Allah, ketika membuang Nabi Musa di dalam Sungai.

Namun pada akhirnya dia sangat gembira ketika bayinya disusui dan hidupnya lebih mapan karena hidup di lingkungan istana. Rencana Allah pun berjalan mulus hingga kerajaannya hancur dan Fir’aun terbunuh bersama tentaranya.

Bagi seorang muslim, bertatih-tatih dalam mematuhi aturan Allah dan menjalaninya dengan husnuzon (prasangka baik), akan berakhir baik. Hidupnya akan bahagia dan dalam lindungan Allah ketika di dunia, dan selamat dari azab ketika di akhirat.

Sebaliknya mereka yang hidup melawan aturan Allah pasti akan berakhir buruk. Fir’aun merupakan contoh manusia kejam dan bengis yang berhasil mengelabui rakyatnya, namun dia tidak bisa menghindar dari rencana Allah yang meruntuhkan kekuasaannya dan menghinakan hidupnya di dunia dan akhirat. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini