Kemenangan kaum muslimin dalam peperangan disebabkan karena kedekatan dan kepasrahan total kepada Allah, sehingga pertolongan-Nya datang.
Sebaliknya, kekalahan yang diderita umat Islam karena menyisihkan peran Allah dan mengandalkan dirinya sendiri.
Mengandalkan kekuatan sendiri dan menjaga jarak dengan Allah merupakan bentuk kemaksiatan, sehingga Allah berlepas diri.
Dalam perang Badar, kaum muslimin jumlahnya sedikit, senjata ala kadarnya, dan posisinya dalam keadaan tertekan.
Namun bisa mengalahkan musuhnya yang jauh lebih banyak jumlahnya, lebih lengkap persenjataannya. Ketika memasrahkan hati kepada Allah, serta berbuat kebaikan secara maksimal, maka Allah mengirim pasukan-Nya untuk memenangkan kaum muslimin.
Kemenangan profetik ketika melibatkan Allah dalam setiap lini kehidupan sehingga Allah dihadirkan untuk mengarahkan kehidupan kita.
Keberagamaan Tertinggi
Kepasrahan total kepada Allah merupakan bentuk keberagamaan tertinggi. Artinya, seorang mukmin yang mengikuti seluruh petunjuk Allah secara keseluruhan, tanpa memilih-milih, merupakan indikasi totalitas dalam beragama.
Di saat totalitas mengikuti petunjuk Allah itulah, maka Allah menurunkan pertolongan kepada para hamba-hamba-Nya yang pasrah.
Perang Badar merupakan contoh empirik bagaimana totalitas nabi dan para sahabat dalam membela agama Allah.
Pada saat keimanan dan amal salih kaum muslimin dalam keadaan memuncak, hati-hari para sahabat dalam keadaan pasrah secara total, dengan memohon pertolongan kepada Allah, maka Allah membantu kaum muslimin.
Bentuk pertolongan Allah dengan mengirim pasukan berupa malaikat, sehingga kaum muslimin bisa menggulingkan pasukan musuh yang angkuh, dengan rasa percaya diri yang sangat kuat.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
قَدْ كَا نَ لَـكُمْ اٰيَةٌ فِيْ فِئَتَيْنِ الْتَقَتَا ۗ فِئَةٌ تُقَا تِلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَاُ خْرٰى كَا فِرَةٌ يَّرَوْنَهُمْ مِّثْلَيْهِمْ رَأْيَ الْعَيْنِ ۗ وَا للّٰهُ يُؤَيِّدُ بِنَصْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَعِبْرَةً لِّاُولِى الْاَ بْصَا رِ
“Sungguh, telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang berhadap-hadapan. Satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain (golongan) kafir yang melihat dengan mata kepala, bahwa mereka (golongan muslim) dua kali lipat mereka. Allah menguatkan dengan pertolongan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan (mata hati).” (QS. Ali ‘Imran : 13)
Fenomena perang Badar di atas menunjukkan bahwa kekalahan dan kemenangan sangat ditentukan oleh sejauh mana kedekatan seorang hamba dengan Allah.
Ketika hubungan dekat dengan Allah, dalam situasi terdesak, maka pertolongan-Nya datang. Sebaliknya pertolongan Allah akan sirna ketika tidak memberi ruang dan peran Allah kepada dirinya.
Mengandalkan Diri
Allah menunjukkan fenomena yang sebaliknya, di mana kaum muslimin sempat hampir putus asa karena pasukan musuh berhasil mengecilkan nyali kaum muslimin.
Pada saat itu, kaum muslimin dalam jumlah yang banyak, dan musuhnya berjumlah sedikit. Mengandalkan jumlah pasukan dan yakin memenangkan peperangan, seraya melupakan peran Allah, maka kaum muslimin mengalami kehancuran.
Perang Hunain menjadi saksi sejarah kesalahan total kaum muslimin, yang mendasarkan jumlah pasukan yang lebih banyak daripada musuh.
Pada saat itu, Allah dilupakan kekuasaan-Nya. Allah pun membiarkan kaum muslimin dalam menelan pil ketakutan.
Pasukan kaum muslimin pun lari kocar-kacir. Namun Nabi berhasil membangun ulang kepercayaan para sahabat, agar menyadari kesalahannya, dan menghadirkan peran Allah dalam peperangan ini.
Pada saat itulah pertolongan Allah datang, dan Islam dalam keadaan menang. Penyandaran diri secara utuh kepada Allah dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang diridai-Nya merupakan kunci meraih kemenangan.
Perang Badar merupakan contoh pertolongan Allah setelah mereka memasrahkan diri secara total kepada Allah, sementara Perang Hunain merupakan contoh perbuatan yang mengandalkan diri dan menyisihkan peran Allah. Sehingga Allah mengecilkan mental mereka hingga musuh menguasai dan hampir mengalahkannya.
Fir’aun merupakan contoh manusia yang secara total mengandalkan dirinya. Selama berkuasa tidak ada satu pihak pun yang bisa mencegah segala keputusannya.
Membunuh setiap bayi lelaki merupakan persepsi dirinya yang merasa terancam kekuasaannya.
Melenyapkan nyawa orang lain merupakan hal yang biasa bagi Fir’aun, sehingga dia pun merasa bahwa dirinyalah yang menentukan hidup mati setiap manusia.
Puncak kedzaliman Fir’aun ketika mengaku dirinya sebagai tuhan sehingga sentralitas kekuasannya tunggal dan bisa menentukan segala keadaan.
Kondisi yang demikian, sulit bagi Fir’aun untuk menerima kebenaran, sehingga apampun yang dibawa Nabi Musa senantiasa ditolaknya.
Allah pun berbalik membuat Fir’aun pasrah ketika dia tenggelam hingga mengakui Allah sebagai kekuatan yang sebenarnya.
Kesalahan Fir’aun yang paling fatal, ketika mengaku dirinya sebagai tuhan, sehingga Allah menyiapkan tempat yang paling mengerikan.
Allah memperlihatkan kepada Fir’aun neraka sebagai tempat penyiksaannya. Sebelumnya memasuki tenpat tinggalnya di neraka, Allah memberi siksaan batin kepada Fir’aun dengan mengulang-ulang guna memastikan tempatnya yang menghinakan.
Hal ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
اَلنَّا رُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّا ۚ وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّا عَةُ ۗ اَدْخِلُوْۤا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَا بِ
“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!” (QS. Ghafir : 46)
Fir’aun merupakan anti klimaks manusia yang menolak eksistensi Allah dan mengumumkan dirinya sebagai tuhan yang sebenarnya. Berbagai teror dan ancaman dilahirkan Fir’aun.
Hal itu sebagai bentuk penegasan bahwa dirinya sebagai penentu segala sesuatu. Semua pihak harus tunduk dan patuh kepada keputusannya dan siap menghadapi kematian bagi siapa pun yang menentangnya.
Allah pun mengakhiri kedzaliman Fir’aun dengan ditenggelamkan di laut guna menghinakan manusia paling angkuh dan sombong di muka bumi ini. (*)
Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya