Para ulama tafsir memberikan penjelasan tentang makna bunuh diri dalam beberapa definisi :
a. Larangan membunuh sesama muslim mengingat muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh, yang jika menyakitinya maka sama dengan menyakiti dirinya sendiri.
b. Larangan kepada umat muslim untuk tidak melakukan bunuh diri.
c. Larangan kepada umat muslim untuk tidak melakukan hal-hal yang telah dilarang oleh Allah SWT, karena hal tersebut dapat membinasakan dirinya baik didunia ataupun diakhirat kelak.
Alih-alih dapat melepaskan diri dari kesulitan dunia, bunuh diri justru dapat mendatangkan kesulitan yang tak berujung di akhirat kelak.
Menurut para ulama, bunuh diri merupakan suatu sikap yang menunjukkan ketidaksabaran manusia pada ujian yang dihadapinya. Di samping itu, bunuh diri juga merupakan suatu tindakan mendahului kehendak Allah SWT dan ketidakpercayaan bahwa segala kesulitan pasti ada jalan keluarnya.
Tindakan bunuh diri juga menyebabkan pelakunya diharamkan atas surga-Nya. Sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori. Dari Jundub bin Abdullah, dia berkata, Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dahulu ada seorang laki-laki sebelum kamu yang mengalami luka, lalu dia berkeluh kesah, kemudian dia mengambil pisau, lalu dia memotong tangannya. Kemudian darah tidak berhenti mengalir sampai dia mati. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Hamba-Ku mendahului-Ku terhadap dirinya, Aku haramkan surga baginya’. [HR. Al-Bukhari, no. 3463]
Bunuh diri juga akan menyebabkan pelakunya akan disiksa di akhirat kelak sebagaimana cara dia mengakhiri hidupnya. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis:
Dari Tsâbit bin adh-Dhahhak, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Barang siapa bersumpah dengan agama selain Islam dalam keadaan dusta, maka dia sebagaimana yang dia katakan. Barang siapa membunuh dirinya dengan sesuatu, dia akan disiksa dengan sesuatu itu dalam neraka Jahannam. Melaknat seorang Mukmin seperti membunuhnya. Dan barang siapa menuduh seorang Mukmin dengan kekafiran maka itu seperti membunuhnya”. [HR. Al-Bukhari, no. 6105, 6652; Ahmad, no. 16391; lafazh ini dari Al-Bukhâri].
Lalu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi segala kesulitan hidup di dunia?
1. Jangan berputus asa dari rahmat Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. Yusuf : 89 :
يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” QS. Yūsuf [12]:87
Ketika kita sedang ditimpa kesulitan, maka tetaplah semangat dengan terus berpikir positif bahwa kasih sayang Allah SWT akan terus ada untuk hamba-Nya.
2. Memaksimalkan ikhtiar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ
ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ
“Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, [39] bahwa sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya) [40], kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna [41].”
Dalam menghadapi kesulitan hidup, manusia wajib melakukan ikhtiar terbaiknya agar mendapatkan hasil yang terbaik pula.
Tidak hanya dalam menghadapi kesulitan dan persoalan hidup, ikhtiar juga wajib dilakukan dalam meraih mimpi dan cita-cita duniawiyah.
Namun, jangan lupa bahwa kehidupan setelah kematian perlu diperjuangkan melalui ikhtiar terbaik agar mendapatkan kebahagiaan yang dijanjikan oleh Allah SWT yaitu jannah.