UM Surabaya

Pentingnya Memperbaiki Hati 

Di dalam hadis yang agung ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan perumpamaan pentingnya hati bagi amal perbuatan sebagaimana peranan jantung bagi anggota badan.

Jantung memompa darah ke seluruh tubuh sehingga sangat menentukan kesehatan badan, sebagaimana halnya baiknya hati sangat menentukan baiknya amal perbuatan.

Maka, hadis di atas merupakan rujukan dalam masalah agama dan juga dalam masalah medis/pengobatan (Syekh Ibrahim Ar- Ruhaili hafizhahullah Atsarul ‘Aqidah ‘Alal Istiqamah)

Ketika mengomentari bagian akhir hadis di atas, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, Di dalam hadis ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik hamba dengan anggota badannya, kemampuannya menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, dan keteguhannya dalam menjaga diri dari hal- hal yang syubhat/samar bergantung pada kebaikan gerak-gerik hatinya.” (Jami’ul Ulum Wal-Hikam, Makt. Syamilah).

Hati yang Hidup, Mati dan Sakit

Untuk memperjelas hal ini, marilah kita simak penuturan Ibnu Abil Izz Al-Hanafi rahimahullah berikut ini. Beliau mengatakan, Ketahuilah, sesungguhnya hati bisa hidup dan bisa mati, bisa sakit, dan bisa sehat. Hati merupakan unsur (nonfisik) yang paling agung di dalam tubuh.

Allah Ta’ala berfirman:

“Apakah sama antara orang yang dahulunya mati kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya untuk berjalan di antara manusia dengan orang yang senasib dengannya, namun tetap terkungkung di dalam kegelapan dan tidak bisa keluar darinya.”
(QS. Al-An’aam : 122)

Maksudnya, orang tersebut sebelumnya mati karena tenggelam dalam kekafiran, kemudian Kami (Allah) pun menghidupkan jiwanya dengan iman.

Beliau melanjutkan, Hati yang sehat dan hidup apabila disodori kebatilan dan perkara-perkara yang buruk, maka nalurinya akan mendorong untuk menjauhi hal itu dan membencinya serta tidak mau memperhatikannya.

Berbeda keadaannya dengan hati yang mati. Hati yang mati tidak mampu membedakan baik dan buruk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, “Celakalah orang yang tidak memiliki hati yang dapat mengenal perkara makruf dan mungkar. Begitu pula halnya hati yang sakit karena terjangkit syahwat. Maka hati (yang sakit) semacam itu (karena kelemahannya) akan condong kepada kebatilan dan keburukan yang disodorkan kepadanya bergantung pada kuat-lemahnya penyakit tersebut.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, tahqiq Al-Albani, hal. 274-275)

Dua Macam Penyakit Hati

Kemudian Ibnu Abil Izz rahimahullah memaparkan, penyakit hati ada dua macam, sebagaimana yang telah disinggung di depan: penyakit syahwat (keinginan yang terlarang) dan penyakit syubhat (penyimpangan cara berpikir).

Penyakit yang paling buruk di antara keduanya adalah syubhat, dan syubhat yang paling buruk adalah yang terkait dengan masalah takdir.

Terkadang hati itu menderita sakit dan semakin bertambah parah, namun orangnya tidak menyadari hal itu.

Itu bisa saja terjadi karena dia tidak mau mengenali hakikat kesehatan hatinya dan sebab-sebab untuk menjaganya. Bahkan, terkadang hati seseorang mati, namun dia tidak menyadari kematiannya.

Ciri yang menunjukkan keadaan itu adalah tatkala [1] dosa yang timbul akibat melakukan perbuatan buruk/ maksiat tidak bisa lagi membuat hatinya terluka, begitu pula [2] ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidakmengertian mengenai akidah yang keliru sudah tidak terasa menyakitkan baginya.

Sebab, apabila hati masih hidup, tentu akan bisa merasakan sakit karena mengalirnya sesuatu yang buruk (dosa) kepadanya, dan merasa sedih dan terluka akibat kebodohan dirinya terhadap kebenaran, dan besarnya rasa sakit itu bergantung pada kadar kehidupan yang ada padanya. (Sebagaimana dikatakan oleh penyair). Luka yang bersarang di tubuh mayit, tentu tidak lagi menyakitinya.” (hal. 275)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini