Pentingnya Konsep Muhasabah al-Ghazali di Era Digital
Ilustrasi Imam al Ghazali. foto: pixabay.com

*) Oleh: Imron Nur Annas, M.H.
Anggota Majelis Tabligh PDM Nganjuk, Pengajar di Ponpes. Ar-Raudlotul Ilmiyah Kertosono

Era digital yang semakin menunjukkan keemasannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, banyak sekali kita saksikan kalangan umat yang tidak mampu untuk menguasai dirinya sendiri. Ini karena kecanggihan teknologi yang banyak melahirkan berbagai pernak-pernik keduniawian yang akan menyeret seorang hamba ke dalam jurang kehinaan jika tidak dibarengi dengan sikap muhasabah.

Hal ini diakibatkan karena ketidakmampuan diri dalam memanfaatkan rahmat Tuhan yang ada pada dirinya. Sehingga seorang hamba lebih memperturutkan hawa nafsu dan hasrat keduniawiannya dalam bersikap dan berperilaku.

Padahal seiring dengan berjalannya waktu, kesalahan hawa nafsu dan hasrat keduniawiannya yang tidak dievaluasi akan semakin menumpuk dan menjadi penghalang antara hamba tersebut dengan Tuhannya.

Oleh karena itu, seorang hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan mesti mempunyai waktu khusus untuk memeriksa dan menilai apa yang telah dilakukan selama sehari penuh.

Pekerjaan memeriksa dan menilai diri dalam Islam disebut dengan muhasabah. Sedangkan menurut imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulum al-Din إحياء علوم الدين konsep muhasabah merupakan perhitungan seorang hamba terhadap setiap gerak gerik dan diam yang telah dilaluinya, seperti seorang pedagang yang memperhitungkan modal, untung dan rugi.

Modal hamba pada agama adalah ibadah-ibadah fardu, keuntungannya adalah ibadah-ibadah sunnah, dan kerugiannya pada perbuatan-perbuatan maksiat. Artinya, seorang hamba harus selalu cermat dan mawas diri dengan memeriksa lagi segala amal perbuatannya.

Karena itu, menurut al-Ghazali, muhasabah diri dapat meringankan beban kesedihan manusia pada hari kiamat nanti. Jika diringkas setidaknya ada tiga manfaat muhasabah diri, yaitu:

Pertama, memperbaiki hubungan manusia dengan Allah. Kedua, memperbaiki hubungan manusia dengan sesama makhluk. Ketiga, mengetahui kesalahan sendiri sehingga bisa segera diperbaiki.

Maka untuk menyempurnakan ibadahnya, seorang hamba hendaknya selalu mengadakan perhitungan bagi diri sendiri. Jika ibadah-ibadah fardu telah dilaksanakan dengan baik, hendaknya seorang hamba senantiasa bersyukur kepada Allah.

Akan tetapi, bila terdapat kekurangan, maka harus segera diperbaiki dengan ibadah-ibadah sunnah. Namun, jika seorang hamba melakukan perbuatan maksiat, maka hendaknya ia sibuk berpikir akan siksa dan azabnya, serta melakukan taubatan nasuha.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini