UM Surabaya

Moderasi Beragama Tanpa Makna

Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi beragama menjadi tema penting dalam menyikapi apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai menguatnya arus radikalisme atau lebih tepatnya ekstrimisme beragama.

Penggunaan term moderasi beragama lebih sebagai upaya untuk mengambil “jalan tengah” (tawasuth) dalam menyikapi beragama terkait persoalan keberagamaan.

Moderasi berasal dari bahasa Inggris “moderation”, yang berarti sikap sedang atau sikap tidak berlebih-lebihan.

Penggunaan term moderasi beragama lebih menggambarkan sikap yang mencoba menjadi penengah (wasath, wasit), memberi solusi, dan jalan tengah di antara dua titik ekstrem. Istilah moderasi beragama dalam Islam sebenarnya sudah lama adanya.

Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Pijakan moderasi beragama berujuk pada dalil naqli dalam QS. Al-Baqarah : 143 :

“Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”. Ayat ini menegaskan posisi umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat pertangahan).

Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan, di mana kata wasath oleh banyak mufassir diartikan sebagai sikap pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub ekstrim. Jadi ummatan wasathan adalah sikap umat yang berpikiran dan berperilaku moderat (tawasuth), seimbang, tidak zalim, dan adil (proporsional).

Merujuk pada tafsir QS al-Baqarah : 143 tersebut, semestinya moderasi beragama juga menonjolkan sisi moderat, sikap tengah, dan tidak berlebihan (ekstrem) atau tatharruf dalam menyikapi radikalisme atau ekstrimisme. Sebaliknya, penggunaan term deradikalisasi justru mempunyai kecenderungan mengambil posisi ekstrim lainnya yang berdiri saling berseberangan.

Berbeda dengan moderasi beragama yang mencoba mengambil “jalan tengah”, merangkul, dan mendamaikan, maka kerja-kerja deradikalisasi justru cenderung saling berhadapan (vis a vis) antara mereka yang dicap sebagai radikal atau ekstrem dengan mereka yang menyebut diri mencoba melakukan kerja-kerja deradikalisasi.

Upaya untuk melakukan deradikalisasi tidak berbeda jauh dengan mereka yang diberi label radikal, yaitu sama-sama mengambil titik (bipolar) ekstrem yang saling berseberangan dan vis a vis. Realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, yang menyebut kelompok moderat (tawasuth), justru terkadang cenderung berhadapan kelompok yang dimoderasi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini