Di Balik Proyek Islam Moderat
Kementrian agama menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama. Pada saat yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Internasional (The International Year of Moderation).
Moderasi beragama dijadikan jargon sebagai ruh dan yang harus menjiwai seluruh program pelayanan keagamaan di Kementerian Agama.
Sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Amy L. Friedman, “Setelah serangan teroris 11 September 2001, pemerintah AS mulai menyadari bahwa mereka perlu memahami dan mempengaruhi sikap dunia Islam terhadap AS. Tujuan utama pemerintah AS di bawah Presiden George W. Bush adalah untuk melawan tantangan ‘Islam Radikal’ yang berpotensi menjadi teroris.
Untuk menumbuhkan sikap yang lebih hangat terhadap AS, serta untuk mendorong demokrasi dan hak asasi manusia, pemerintah AS berusaha menciptakan dan menguatkan jaringan ‘moderat’ untuk melawan ‘Islam Radikal’. Sehingga pemerintah AS berupaya mendukung ‘Islam Sipil’, yaitu kelompok masyarakat atau ormas Islam yang menyerukan ‘moderasi’ dan ‘modernitas’.
Di negara-negara seperti Indonesia, Mali, dan di tempat lain, USAID mendanai proyek-proyek serupa untuk perdamaian dan pembangunan. Tujuan utamanya adalah mendukung interpretasi Islam moderat. Dengan menggaet pihak ketiga- yaitu negara-negara Muslim Moderat, yayasan dan kelompok-kelompok reformis- untuk mempromosikan nilai demokrasi, hak perempuan, dan toleransi.” (Amy L. Freedman, “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia”, dalam Journal of Civil Society, vol. 5, no.2 (2009), hlm. 110).
Di Indonesia, proyek ‘Islam Moderat’ mulai digulirkan setelah peristiwa ledakan bom di Bali pada 2002. Pemerintah SBY menjadikannya sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negerinya (Donald Weatherbee, 2013).
Pasca pengesahan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, pemerintah AS memberikan berbagai bantuan kepada satgas antiteror, termasuk kucuran dana sebesar US$150 juta dolar kepada pemerintah Indonesia (David Capie, 2004).
Melacak media ditemukan bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat hari raya kepada komunitas Baha’i. Hal ini kemudian menuai kecaman dan dinilai melakukan offside.
Pembelaan disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz yang menyebutkan bahwa langkah Menag selama ini berjalan sesuai perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku. (CNNIndonesia 29/7/21).