Sementara itu, detikNews (30/7/21), mewartakan koalisi yang terdiri YLBHI, Paritas Institute, LBH Jakarta, Yayasan Inklusif, HRWG, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, dan Ahmad Suaedy, menilai adanya kontroversial perihal komunitas Baha’i ini, mengharapkan agar pemerintah dapat melindungi dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas sebagai warga negara yang sama.
Mengutip kumparan tertanggal 7 April 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas menjadi perbincangan publik setelah usulan yang dirasa kontroversial yaitu doa lintas agama. Menurutnya doa lintas agama didasari karena Kementerian Agama tidak hanya menaungi agama satu saja, dan hal sebatas saran internal di lingkungan Kemenag saja. Dikutip dari Antara, Rabu (7/4/203) usai mengisi seminar pemikiran di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Jawa Timur.
Kemudian, sekitar bulan September di tahun 2022 pemerintah menaikkan anggaran program Moderasi Beragama menjadi Rp 3,2 Triliun. Hal itu disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, pada Malam Peluncuran Aksi Moderasi Baragama yang diselenggarakan Kementerian Agama (Kemenag) secara daring dan luring.
Jumlah tersebut berarti naik delapan kali lipat dibanding anggaran tahun 2021 yang hanya 400 Miliar. Peruntukan dana sangat besar ini menandakan bahwa proyek moderasi beragama di negeri ini merupakan proyek yang sangat penting hingga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Sejumlah buku pedoman dan panduan Moderasi Beragama pun telah diluncurkan oleh Menteri Agama saat itu Lukman Hakim Saifuddin pada 8 Oktober 2019 dan Menteri Agama Yaqul Cholil Qoumas pada 22 September 2021. Dikatakan bahwa Moderasi Beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang.
Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan. Menurut Kemenag, pemahaman dan pengamalan agama dianggap ekstrem jika ia melanggar tiga hal, pertama, nilai kemanusiaan, kedua, kesepakatan bersama, dan ketiga, ketertiban umum (Lihat: tanya jawab Moderasi Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2019, hlm 8).
Kegaduhan dan polarisasi keberagaman yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggambarkan adanya ikhtiar untuk melakukan moderasi beragama. Yang ada dan terjadi justru adanya rivalitas yang saling berhadapan antara kelompok ekstrem atau radikal yang satu berhadapan dengan kelompok ekstrem atau radikal lainnya.
Pemerintah dalam hal ini justru berperan sebagai salah satu pihaknya. Sebagaimana kegaduhan yang ditimbulkan oleh Jenderal Dudung Abdurrachman yang menyebut bahwa “Tuhan bukan orang Arab”, pendapat yang demikian sulit kiranya disebut sebagai sikap moderat dalam beragama. Sebaliknya, pernyataan tersebut justru merupakan pencerminan dari sikap seorang yang radikal atau ekstrem dalam beragama.
Jika mencermati fenomena radikalisme atau ekstremisme yang terjadi di Indonesia secara determinan bukan disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang radikal atau ekstrem, akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dan politik yang diciptakan dan dipertontonkan secara demonstratif oleh sebagian elit politik dan segelintir orang yang kerap disebutnya sebagai kaum oligark, baik oligarki ekonomi maupun oligarki politik.