Mu’ti menerangkan bahwa Islam wasathiyyah diambil dari kata wasatha dalam Alquran yang disebut lima kali dengan segala derivasinya, yaitu: 1) wasatna (QS. Al-Adiyat: 5), yakni tengah atau yang terbaik; 2) wasathan (QS. Al-Baqarah: 143), artinya adil dan pilihan; 3) awsith (QS. Al-Maidah: 89), yaitu tidak ekstrem dan tidak berlebih lebihan; 4) awsathu (QS. Al-Qalam: 28), maknanya bijaksana; dan 5) wustha (QS. Al-Baqarah: 238), ini berkaitan dengan waktu waktu salat, “hendaknya kamu menjaga waktu waktu salat dan salat wustha..”.
Dari konsep ini, Muhammadiyah memahami konsep moderat meliputi tiga dimensi, di antaranya: pertama, wasatha itu berarti sesuatu yang sangat baik yang karena itu sering kali disamakan dengan khair. Imam Al-Qurthubi menyamakan wasatha dengan oase di tengah gurun.
Kedua, wasatha yang berkaitan dengan sikap, tidak ekstrem dan tidak pula berlebih-lebihan baik dalam ibadah ataupun dalam hal muamalah.
Ketiga, berperilaku sesuai dengan ilmu dan hukum sehingga sering kali wasath itu adalah sikap adil yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Memaknai toleransi terhadap non muslim dalam pandangan Muhammadiyah adalah toleransi sebagai bentuk persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah).
Pemahaman Muhammadiyah ini didasarkan pada Alquran surat al-Hujurat ayat 13, yakni bahasa lita’arafu (supaya saling mengenal). Secara tekstual, pemahaman ini diputuskan dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47 tahun 2015 di Makasar, bahwa :
“Muhammadiyah memandang bahwa ukhuwah insaniyah sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 menjunjung tinggi kemanusiaan universal tanpa memandang latar belakang etnis, agama dan unsur primordial lainnya sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Kehadiran Islam merupakan rahmat bagi semesta alam”.
Kepentingan yang mendasari pemahaman Muhammadiyah tentang toleransi terhadap non-muslim dipengaruhi oleh kepentingan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam Moderat yang Berkemajuan.
Sedangkan sebagai kritik ideologi, pemahaman Muhammadiyah tersebut merupakan kritik atas pandangan kelompok Islam radikal bahwa non-muslim adalah kaum kafir yang harus dijauhi, dimusuhi, dan disingkirkan. Bahkan dalam beberapa kasus ditindas dan dibinasakan.
Di sisi yang lain, pemahaman Muhammadiyah mengenai toleransi terhadap non-muslim juga dapat menjadi kritik atas praktik-praktik toleransi yang kebablasan oleh kelompok kelompok Islam liberal. Misalnya merayakan hari raya bersama, ibadah bersama, dan lain sebagainya, yang dapat mengganggu akidah seorang muslim.
*) Artikel ini juga tayang di suaramuhammadiyah.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News