Pemberian Hadiah Politik, Bolehkah?
Zainuddin MZ. foto: ibu/majelistabligh.id
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Zainuddin MZ, Lc MA
Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits

Hadiah dalam kajian fikih lazim disebut nihlah, athiyah atau hibah, dalam tradisi bangsa Indonesia juga disebut kado.

Yaitu pemberian seseorang perupa jasa atau barang atau uang kepada temannya, sehingga pihak penerima merasa mendapatkan perhatian dan berdampak pada hal-hal yang dapat menyenangkan.

Di dunia politik juga mengadopsi istilah tersebut, yang lazim disebut hadiah politik, atau hibah politik, atau sedekah politik.

Anjuran Nabi saw

Hadis Abu Hurairah ra:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: تَهَادُوْا تَحَابُّوا

“Dinarasikan Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: Hendaknya kalian saling memberi hadiah, kelak kalian akan dapat saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Adab Mufrad; Malik: 1617; Baihaqi: 11726; Abu Ya’la: 6148).

Target Sedekah Politik

Terkait dengan dunia politik tentunya target setelah saling mencintai adalah mendukungnya dengan memberikan hak suara padanya.

Objek pemberian hadiah itu bersifat umum. Artinya, siapa saja berhak menerima hadiah itu, tidak pandang bulu, apakah pihak penerima orang kaya atau orang miskin, orang muslim atau non muslim.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini