*) Oleh: Ferry Is Mirza DM
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Hawa nafsu adalah kecondongan jiwa kepada sesuatu yang selaras dengan keinginannya.”
Asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Hawa nafsu dinamakan al-hawa karena bisa menjerumuskan pemiliknya ke dalam Neraka.”
Orang yang ittiba’ul hawa (memperturutkan hawa nafsu) dengan menghalalkan segala cara melakukan keculasan, kecurangan, korupsi, kolusi dan nepotisme hakikatnya mencari kenikmatan semu dan kepuasan sesaat di dunia, tanpa berpikir panjang.
Akibatnya harus rela kehilangan kenikmatan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Apakah hawa nafsu itu tercela? Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan dalam kitab tersebut bahwa hawa nafsu diciptakan ada pada diri manusia guna menjaga kelangsungan hidupnya.
Sebab, kalaulah tidak ada nafsu makan, minum dan menikah, tentulah manusia akan mati dan punah, karena tidak makan, minum dan menikah. Hawa nafsu mendorong manusia meraih perkara yang diinginkannya.
Sedangkan marah mencegahnya dari perkara yang mengganggunya dalam kehidupannya.
Maka tidak selayaknya hawa nafsu dicela atau dipuji secara mutlak tanpa pengecualian. Nafsu yang diperbolehkan adalah selama nafsu tersebut tidak menyelisihkan kebenaran.
Dalam menjalani kehidupan, hawa nafsu yang terpuji ibarat teman perjalanan bagi kita, sedangkan hawa nafsu yang tercela adalah musuh kita…
Setelah umat Islam berhasil memenangkan peperangan hingga menjadikan Makkah dan Madinah sebagai basisnya umat Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepada para sahabat, saat ini umat Islam telah kembali dari jihad kecil dan akan menuju jihad besar.
Kemudian para sahabat bertanya apakah yang dimaksud dengan jihad besar itu, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan jihad besar itu adalah jihad melawan hawa nafsu.