Urgensi Beradab Kepada Nabi
foto: shutterstock
UM Surabaya

Beradab kepada Nabi merupakan prasyarat utama untuk melahirkan peradaban yang kokoh dan agung.

Memanggil Nabi dengan penuh penghormatan merupakan dasar kokohnya peradaban suatu bangsa.

Saat ini umat Islam dalam keadaan terpuruk disebabkan banyak mempertanyakan relevansi Islam dengan perkembangan zaman.

Adab Sebagai Pondasi

Allah menunjukkan munculnya peradaban besar berasal dari hal yang kecil. Memanggil Nabi dengan cara yang santun merupakan pondasi dasar tercapainya tujuan besar Islam, yakni masyarakat berakhlaq agung.

Oleh karenanya, Allah melarang kaum muslimin memanggil Nabi dengan panggilan seperti memanggil temannya.

Hal ini sebagaimana firman-Nya :

لَا تَجْعَلُوْا دُعَآءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَآءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۗ قَدْ يَعْلَمُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ يَتَسَلَّلُوْنَ مِنْكُمْ لِوَا ذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَا لِفُوْنَ عَنْ اَمْرِهٖۤ اَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ اَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَا بٌ اَ لِيْمٌ

“Janganlah kamu jadikan panggilan rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sungguh, Allah mengetahui orang-orang yang keluar (secara) sembunyi-sembunyi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur : 63)

Dalam memanggil saja harus dengan sopan santun. Tanpa kesantunan, maka cenderung dan mudah untuk menyimpang dan berbuat dosa.

Penghormatan kepada pembawa risalah akan mudah mengikuti ajarannya.
Panggilan tanpa kesantunan merupakan bibit menolak ajakan kebaikan yang disampaikannya. Kalau sudah demikian, maka pintu bermaksiat terbuka lebar.

Secara psikologis, memanggil Nabi tanpa sopan santun, akan menampilkan sikap yang kurang ajar. Misalnya meragukan risalah dengan meminta bukti kebenaran, sebagaimana termaktub dalam Alquran:

وَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَاۤ اُنْزِلَ عَلَيْهِ اٰيَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗ اِنَّمَاۤ اَنْتَ مُنْذِرٌ وَّ لِكُلِّ قَوْمٍ هَا دٍ

“Dan orang-orang kafir berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda (mukjizat) dari Tuhannya?” Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi setiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra’d : 7)

Menanyakan mukjizat, sama saja meragukan kerasulan. Hal ini merupakan bibit kemaksiatan. Ketika maksiat tumbuh subur, maka akan membuat hati rasul terluka.

Saat terluka itulah, nabi berdoa kepada Allah untuk menyelesaikan kaumnya, sebagaimana firman-Nya:

وَقَا لَ الرَّسُوْلُ يٰرَبِّ اِنَّ قَوْمِى اتَّخَذُوْا هٰذَا الْقُرْاٰ نَ مَهْجُوْرًا

“Dan rasul (Muhammad) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Qur’an ini diabaikan.” (QS. Al-Furqan : 30)

Sahabat dan Keteladanan Adab

Terhinanya suatu kaum berawal dari rendahnya sikap penghormatan pada pemimpinnya.

Sahabat Nabi merupakan contoh masyarakat yang sangat menjaga adab kepada nabi. Mereka menundukkan kepala di hadapan Nabi dan mematuhi segala perintahnya.

Mereka tanpa membantah kecuali sami’na wa atha’na (mendengar dan patuh).

Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafi, saat masih kafir, pernah mengisahkan bahwa penghormatan para sahabat kepada nabi tidak ada bandingannya. Beliau pernah berkeliling ke kerajaan Persia dan Romawi sebagai duta Quraisy.

Beliau menyatakan: “Demi Allah, tidaklah Rasulullah membuang ludah kecuali jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka, maka ia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya sendiri. Jika Rasulullah memerintahkan mereka, maka mereka bersegera melakukannya.

Jika ia berwudu, maka mereka hampir-hampir berkelahi karena memperebutkan bekas air wudhunya. Jika ia berbicara, maka mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak berani menatap wajahnya secara langsung karena begitu hormat kepadanya.”

Kisah Urwah menunjukkan bahwa para sahabat mengutamakan nabi dalam segala hal. Mereka mencintai Nabi melebihi pada diri dan keluarganya sendiri. Bahkan mereka rela mengorbankan diri dan hartanya untuk kepentingan nabi (Islam). Mereka menjaga syariat ini dan menerapkannya sebagaimana yang dikabarkan Nabi.

Maka tidak Salah apabila Islam dengan cepat berkembang melesat. Kawan dan lawan sangat mengagumi Islam karena ketaatan dan kepatuhan pengikutnya pada ajaran agamanya. Allah pun mengangkat derajat mereka. Hal itu berawal dari sikap mengedepankan adab kepada nabi dan ajarannya.

Umat Islam saat ini banyak mengalami kemunduran dan bahkan penjajahan. Hal ini disebabkan tidak hormatnya kepada ajaran Islam secara total.

Bahkan tidak sedikit yang meragukan dan melogikakan setiap perintah dan larangan-Nya. Perintah menghidupkan salat malam di akhir Ramadan, untuk meraih keutamaan Al Qadar, justru mempertanyakan relevansinya.

Mereka berargumen bagaimana dengan negara lain yang saat ini masih siang, apakah dapat lailatul qadar. Alih-alih menghidupkan malam, mereka juga beraktivitas lain yang menyelisihi perintah Nabi. (*)

Penulis: Dr. SLAMET MULIONO REDJOSARI, Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini