Ini Dampak Pemilu Materialistik Terhadap Kesehatan Jiwa
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dr. Agus Taufiqurrahman.
UM Surabaya

Pemilihan umum untuk menentukan kepemimpinan di Indonesia masih belum pada substansinya. Alih-alih menemukan pemimpin yang berkualitas, yang ditemukan justru calon pemimpin yang tergantung tebal – tipisnya “isi tas”.

Demikian disampaikan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dr. Agus Taufiqurrahman. Praktek politik yang ‘nomor piro wani piro’ itu, katanya, menimbulkan kerentanan bagi para calon yang berkontestasi, tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga kejiwaan atau psikologisnya.

“Itu kemudian yang merusak. Kemudian (kontestan pemilu) menjadi gila karena sudah mengeluarkan banyak, membeli banyak, membayar banyak, tetapi suaranya tidak sesuai,” ungkap Dokter Spesialis Saraf ini, Rabu (21/2/2024) di Masjid At Taqwa Pekajangan, Pekalongan.

Selain itu, dari fenomena pemilu yang masih materialistik itu juga dapat disaksikan dampaknya pada perilaku orang beragama. Sebagai contoh, ada kejadian kontestan pemilu meminta kembali sumbangan atau donasi dalam bentuk karpet ke masjid karena dirinya tidak terpilih dalam Pemilu 2024.

“Kalau proses pemilunya seperti ini sangat mungkin orang yang mengalami gangguan jiwa semakin banyak. Sehingga saat ini ada beberapa rumah sakit jiwa miliknya pemerintah disiapkan untuk menampung gangguan itu,” ungkap dr. Agus Taufiqurrahman.

Merujuk pendapat Rasulullah Muhammad SAW, dr. Agus mengatakan bahwa kesehatan tidak bisa ditakar dengan rupiah atau harta. Kesehatan dalam Islam merupakan satu dari dua nikmat yang Allah SWT berikan selain nikmat waktu luang. Maka Islam juga menekankan tentang pentingnya menjaga kesehatan, termasuk kesehatan jiwa.

Dokter yang juga dosen ini menjelaskan, bahwa seseorang disebut sehat bukan saja mereka yang tidak mengonsumsi obat dan tidak dalam perawatan. Tetapi kesehatan lebih dari itu, sebab kesehatan jiwa seringkali tidak kelihatan. Orang tua yang ditinggal merantau anaknya dan sendirian, fisiknya bisa terlihat sehat, tapi belum tentu dengan jiwanya.

“Maka kemudian sehat yang sesungguhnya bukan hanya fisik, bisa makan, bisa lari. Di Undang-Undang 2019, sehat itu di mana seseorang itu dalam kondisi bahagia dan sejahtera sejak dari fisiknya, mentalnya, sosialnya, dan spiritualnya,” ungkap dr. Agus.

Maka dengan demikian, definisi sehat tidak lagi hanya diukur dari fisik semata, melainkan dari keempatnya termasuk mental, sosial, dan spiritual. Menurut dr. Agus keempat indikator kesehatan tersebut saling berhubungan. Dia mencontohkan seperti orang yang rawan mendapat serangan jantung adalah orang pemarah. Padahal marah bukan urusan fisik, tetapi mental dan sosial utamanya.

Mengutip hasil penelitian di Johns Hopkins School of Medicine, dr. Agus mengungkapkan bahwa laki-laki yang punya kebiasaan marah berpotensi 3 kali lipat lebih besar mengalami serangan jantung dibandingkan yang lain. Meskipun mereka tidak memiliki riwayat keturunan dari bapak-ibu yang punya sakit jantung. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini