Catatan Kritis Soal Kaidah Hukmu al-Hakimi Ilzamun wa Yarfa’u al-Khilaf
Ilustrasi foto:kompas.tv/ant
UM Surabaya

Sidang itsbat akan digelar Kementerian Agama (Kemenag) pada Kamis (20/4/2023) atau tanggal 29 Sya’ban 1444 H. Kemenag akan meminta komentar dari semua perwakilan ormas dan astronom yang hadir.

Salah satu dasar acuan seremonial itsbat ini ialah kaidah fikih: hukmu al-hakimi ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (putusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan).

Artinya, jika terjadi perbedaan di antara ormas dan pakar, melalui pepatah hukum ini, keputusan pemerintah akan mengakhiri perbedaan.

Penggunaan kaidah hukmu al-hakimi di atas dipermasalahkan oleh sebagian ulama. Dalam pandangan Mazhab Maliki, penguasa politik tidak memiliki wewenang dalam mengatur urusan ibadah warganya.

Karena itu, Mazhab Maliki berpandangan kaidah di atas (hukmu al-hakimi…) tidak berlaku untuk urusan ibadah.

Kaidah tersebut harus ditempatkan dalam konteks pemerintahan yang berkeadilan.

Dalam konteks negara yang berlandaskan hukum, putusan pemerintah itu mengikat manakala seluruh perbedaan pendapat dan tafsir terhadap model penggunaan cara lahirnya hilal itu disantuni oleh pemerintah dalam satu aturan yang adil untuk semua.

Catatan lain terkait kaidah ini adalah ketika pemerintah belum dapat menyantuni perbedaan pendapat warganya dalam satu undang-undang yang mengikat, maka pemerintah wajib mewadahi perbedaan itu sebagai bagian dari hak warga negara yang dihargai Undang-Undang Dasar 1945.

Mengutip Khalifah Umar bin Abdul Aziz: “…biarkan perbedaan pendapat itu terjadi. Saya mengambil manfaat mana yang paling mungkin saya gunakan…”.

Ketika perbedaan pendapat itu belum diikat dalam satu aturan yang menggembirakan semua, kewajiban pemerintah adalah menyantuni perbedaan itu. Hal ini lebih maslahat buat semua.

Sebab itu, untuk saat ini, kaidah yang mengedepan bukan kaidah hukmu al-hakimi di atas. Kaidah yang digunakan adalah: “tasharruf al-imam ala al-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah”, tugas pemerintah adalah memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya.

Tahun ini, hari raya Idul Fitri 1444 H atau Lebaran 2023 akan berpotensi mengalami perbedaan waktu.

Jauh-jauh hari Muhammadiyah telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 H jatuh pada Jumat, 21 Maret 2023 M.

Besar kemungkinan pemerintah melalui Kemenag akan memutuskan Lebaran jatuh pada satu hari berikutnya.

Perbedaan ini sebaiknya disikapi dengan penuh nilai-nilai persaudaraan dan persatuan. (*)

(Disarikan dari Ulama Muhammadiyah Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid yang dirilis muhammadiya.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini