Abdul Mu’ti Ungkap Makna Wasathiyah Juga Berarti Keunggulan
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.
UM Surabaya

Dalam Islam moderasi dikenal dengan wasathiyah.  Meskipun banyak ahli menjelaskan ini sebagai tengahan atau jalan tengah. Tapi istilah wasathiyah juga dapat dimaknai sebagai keunggulan.

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, saat membedah pemikiran Haedar Nashir tentang moderasi di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin (4/3/2024) malam.

Dalam Peluncuran Buku “Jalan Baru Moderasi Beragama” Milad 66 tahun Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir itu, Mu’ti menyampaikan, wasathiyah juga bisa berarti ajwad atau ahyar yang berarti menjadi unggul.

“Sehingga Pak Haedar yang di mana-mana dalam banyak kesempatan menyampaikan Muhammadiyah ini harus memiliki pusat-pusat keunggulan, dan pusat keunggulan itu tidak hanya dibawa pada urusan besar,” tutur Mu’ti.

Keunggulan yang diinginkan oleh Muhammadiyah tidak hanya aktual pada ranah kesemestaan, sebagaimana tema Milad ke-111 Muhammadiyah “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta”. Tapi juga kepada level yang paling kecil.

Abdul Mu’ti menceritakan, dalam komunitas kecil masyarakat seperti yang di pedesaan Muhammadiyah juga sudah hadir. Bahkan dengan satire Mu’ti menyebut Muhammadiyah hadir ketika Google tidak hadir.

“Kalau kita tanya Google itu kita menggunakan GPS (General Positioning Satelit), begitu Google enggak ada kita juga gunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) alias tanya-tanya,” kata Mu’ti.

Sampai daerah-daerah terpencil pun, lanjut Mu’ti, Muhammadiyah hadir, dan Pak Haedar juga hadir di situ. Bagaimana di desa itu Muhammadiyah juga menawarkan pusat-pusat keunggulan.

“Moderasi di tangan Pak Haedar itu bukan sekadar sikap yang lembut, bukan sekadar sikap tengah, tapi juga sikap di mana kita harus mencapai yang unggul tapi juga sikap kritis,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Mu’ti menegaskan, sikap wasathiyah atau moderat tidak mengambang, sekaligus juga tidak sinkretik, tidak juga sikap lembek, dan tidak juga mengiyakan semua kemauan.

“Tetapi menempuh prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari khittah kita di Muhammadiyah, dan kemudian membawa khittah itu dengan berbagai macam pendekatan yang tidak ekstrim. Prinsipnya teguh, tapi pendekatannya tidak ekstrim,” imbuh Mu’ti. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini