Imam Malik, Al-Muwaththa, dan Penolakannya Terhadap Rezimentasi Agama
Ilustrasi: shutterstock
UM Surabaya

Acap kali terjadi perbedaan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah, terasa sekali adanya gejala rezimentasi agama oleh suatu kelompok keagamaan.

Dengan dalih “Ulil Amri” dalam QS. An-Nisa ayat 59 dan kaidah fikih “hukm al-hakim ilzamun”, kelompok ini menyelinap di dalam tubuh kekuasaan.

Mereka berasumsi bahwa kedua dalil tersebut dapat menyelesaikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan menciptakan stabilitas sosial. Namun yang ada malah pemaksaan paham keagamaan.

Dalam Muktamar ke-31 tahun 2022 di Solo, Muhammadiyah telah mewanti-wanti akan fenomena ini. Rezimentasi keagamaan hanya akan melahirkan tafsir tunggal keagamaan yang monolitik.

Hal ini tidak positif bagi perkembangan ijtihad keagamaan di Tanah Air. Muhammadiyah telah mengusulkan agar Negara bersikap moderat, adil dan objektif dalam memosisikan dan memberi ruang bagi seluruh kelompok atau golongan agama tanpa diskriminasi.

Penolakan terhadap rezimintasi agama sesungguhnya memiliki justifikasi historis yang sangat kuat. Terekam dalam sejarah bagaimana seorang pertapa agung Malik bin Anas (w. 150/767) menolak ide rezimentasi agama pada masa Abbasiyah, saat Kekhilafahan dipimpin Abu Ja’far al-Manshur (w. 158/775).

Usulan ide rezimentasi agama ini pertama kali dikemukakan Muhammad ibn al-Muqaffa (w. 140/756). Ia prihatin dengan perbedaan fatwa di antara para ulama akan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat, sehingga menuntut adanya penyeragaman dalam ekspresi keagamaan.

Dalam pertemuannya dengan Imam Malik pada tahun 136 H, Khalifah Abbasiyah kedua Al-Manshur khawatir dengan perkembangan mazhab yang terus tumbuh secara beragam. Baginya, perkembangan mazhab-mazhab telah mengancam keamanan dan stabilitas negara.

Ia kemudian meminta Imam Malik untuk menyusun undang-undang yang menjadi penengah dan bisa diterima semua pihak. Permintaan ini diterima Imam Malik, lalu menyusun kanon hukum dengan nama Al-Muwaththa.

Al-Muwaththa merupakan kodifikasi hukum Islam yang berisi kumpulan hadis pilihan. Tidak hanya hadis Nabi Saw, pendapat sahabat, pandangan tabi’in, dan ijtihad Imam Malik sendiri termaktub dalam kitab ini.

Di dalamnya terdapat banyak pendapat yang sederhana, menengah, serta yang disepakati para sahabat dan telah menjadi praktik keseharian orang-orang Madinah.

Al-Manshur tertarik untuk menjadikannya sebagai acuan baku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengikat kepada seluruh warga kekhilafahan.

Imam Malik setuju dengan penyusunan Al-Muwaththa ini, namun tidak sepakat bila harus dijadikan pegangan hukum yang berlaku di seluruh negeri.

Menurutnya, para sahabat Nabi Saw telah tersebar menetap di semua provinsi Kekaisaran. Masing-masing wilayah juga telah mempunyai aliran tersendiri.

Orang-orang tidak boleh dipaksa untuk mengikuti pendapat seorang ahli hukum yang bagaimanapun juga tidak maksum. Imam Malik merasa apa yang dihasilkannya dari kerja intelektualnya merupakan hasil ijtihad yang tidak luput dari kesalahan.

Lebih dari itu, “formalisasi Al-Muwaththa’” hanya akan memberangus karya-karya lain yang tidak sejalan dengannya. Imam Malik tidak ingin menjadikan kekuasaan menjadi alat untuk menyudutkan pihak lain yang tidak sejalan dengan kehendaknya.

Dengan demikian, merujuk pada pengalaman Imam Malik tersebut, rezimentasi agama ialah menggunakan kekuasaan politik untuk memaksakan pandangan keagamaan pribadi atau kelompok kepada pihak-pihak yang secara diametral berbeda pendapat.

Ulil Amri dan Hukm al-Hakim

Salah satu gagasan rezimentasi agama ialah kewajiban taat terhadap Ulil Amri. Ulama Muhammadiyah Yunahar Ilyas pernah menulis tentang siapa Ulil Amri yang dimaksud dalam QS. Al-Nisa ayat 59 itu.

Yunahar Ilyas dalam makalahnya yang dipresentasikan pada Halaqah Pra Munas Tarjih di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2013 memperluas makna Ulil Amri.

Memang tidak sedikit para mufassir seperti Imam Al-Thabari dalam kitab Jami’ al-Bayan dan Imam al-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir yang memaknai Ulil Amri sebagai penguasa politik.

Namun, sejumlah ulama tafsir menganggap istilah Ulil Amri lebih luas dari sekadar penguasa politik. Misalnya Imam ar-Razi dalah kitab Mafatih al-Ghayb yang mengatakan bahwa Ulil Amri adalah “ahlu al-halli wa al-‘aqdi.”

Hal ini diperkuat oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam kitab Tafsir al-Manar. Bagi mereka, Ulil Amri ialah kumpulan orang-orang profesional dalam bermacam keahlian di tengah masyarakat.

Artinya, semua bidang kehidupan memiliki Ulil Amri-nya masing-masing. Dalam konteks kehidupan bernegara, yang menjadi Ulil Amri adalah Pemerintah yang sah.

Akan tetapi, urusan keagamaan, apalagi ibadah mahdlah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang punya kompetensi dan otoritas untuk itu, bukan oleh penguasa politik.

Wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan-persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni.
Dalam konteks Indonesia yang tidak memiliki Grand Mufti seperti di Mesir, persoalan keagamaan murni patutnya diserahkan lembaga-lembaga fatwa yang ada seperti Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Lajnah Bahsil Masa’il, atau komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia.

Artinya, penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan pada masing-masing lembaga fatwa yang ada. Sementara itu, untuk urusan libur Idul Fitri dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni silakan diputuskan oleh Pemerintah.

Selain konsep Ulil Amri, justifikasi normatif terhadap rezimintasi agama ialah kaidah fikih: hukm al-hakim ilzamun. Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Yajdid PP Muhammadiyah Sopa menyoroti kaidah ini.

Tanggapan Sopa termaktub dalam Jurnal TARJIH, Volume 11 (1), 1434 H/2013. Menurutnya, kaidah ini perlu dikritisi karena rentan sekali dipolitisasi. Kaidah ini pula akan membawa pada apa yang ia sebut sebagai “fiqih mazhab negara”.

Dampak jauh dari persoalan ini ialah kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi yaitu pasal 28 UUD 1945 menjadi terpasung. Jika kebebasan berpendapat dihalangi, maka Ijtihad keagamaan akan mengalami kemandegan.

Sopa kemudian menyarankan agar kaidah hukm al-hakim ilzamun dilekatkan dengan kaidah tasharruf al-imam ala al-ra’iyah manuthun bi al-mashlahah.

Artinya, tindakan pemerintah terhadap rakyatnya harus mengacu pada kemaslahatan. Dengan kaidah ini, akan lebih bijak apabila Pemerintah dengan rendah hati menghargai perbedaan penetapan awal Ramadan dan hari raya.

Perbedaan tidak disikapi dengan permusuhan, tetapi disikapi dengan kedewasaan sehingga dapat menerimanya dengan lapang dada. Karena itulah, rezimentasi dalam bentuk “fiqih mazhab negara” merupakan gagasan yang tidak hanya ahistoris tapi juga tidak realistis dengan kemajemukan pandangan keagamaan di Indonesia. (*)

Penulis: ILHAM IBRAHIM, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini