Haedar Singgung Keadaban Digital yang Rendah dan Tugas Muhammadiyah
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir di UAD.
UM Surabaya

Di ruang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang ada tidak hanya dimensi benar atau salah, tapi juga ada baik dengan buruk, pantas dan tidak, etika, dan norma.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada Rabu (17/4/2024) dalam Syawalan 1445 H  Keluarga Besar Universitas Ahmad Dahlan (UAD) di Masjid Islamic Center UAD.

Perspektif ruang publik yang multidimensional itu, kata Haedar, juga berlaku pada setiap kompetisi yang dijalani. Tidak boleh hanya karena mengejar kemenangan, lalu semua cara menjadi halal.

Oleh karena itu, Haedar mendorong setiap publik untuk menyertakan hati dalam setiap interaksi dan juga pada setiap ruang perjumpaan. Lebih-lebih kepada muslim, yang dalam ajaran agamanya memiliki aturan tentang batas nilai.

Mengulik kembali hasil riset yang dilakukan oleh Microsoft tentang Keadaban Digital, warganet Indonesia tercatat memiliki keadaban yang rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Tentang riset itu, Haedar menjelaskan saat ini terjadi peluruhan akhlak dan nilai utama yang dimiliki oleh masyarakat. Bahkan tidak hanya keadaban digital, tapi peluruhan juga terjadi di bidang lain seperti angka korupsi di Indonesia yang tinggi.

Terdapat beberapa kemungkinan penyebab terjadinya itu, salah satunya menurut Haedar adalah adanya pelonggaran nilai yang kemudian menjadikan semua permisif atau serba boleh.

“Soal keadaban ini tugas kita bersama, apalagi generasi baru,” kata Haedar.

Di tengah derasnya gelombang informasi yang digitalisasi, terjadi peluruhan kepercayaan terhadap agama atau institusi spiritualitas pada kalangan anak-anak muda Indonesia. Mereka mengalami kegundahan akan adanya arus sekularisasi dan liberalisasi.

Terpaan gelombang informasi di era digital ini juga menyulitkan orang tua dalam melakukan transfer nilai ke anak-anaknya. Oleh karena itu Haedar menyarankan supaya tidak hanya melakukan pendekatan secara normatif.

“Atau sesuatu yang normatif harus kita elaborasi menjadi semacam nilai yang hidup dan mengalami proses transformasi, dan bisa menjadi proses orang mengambil nilai itu dalam proses habit dan internalisasi yang mudah,” katanya.

Proses transfer nilai kepada generasi penerus, menurutnya tidak hanya sekadar tugas orang tua, tapi juga institusi-institusi pendidikan, termasuk Muhammadiyah di dalamnya yang memiliki concern terhadap dunia pendidikan. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini