Fungsi Kader Menjadi Garda Terdepan untuk Menghidupkan Organisasi
Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Izzul Muslimin
UM Surabaya

Ibarat organisasi adalah sebuah rumah, maka kader adalah pagarnya. Itu sesuai dengan arti kader sendiri yang berasal dari bahasa Prancis yaitu les cardes yang berarti bingkai atau pagar.

Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Muhammad Izzul Muslimin dalam Podcast Bicara Politik yang diadakan oleh Institut Ilmu Kesehatan dan Teknologi (IKesT) Muhammadiyah Palembang Sabtu (20/4/2024).

“Jadi pengertian kader itu adalah orang-orang yang disiapkan untuk tadi, mengamankan atau menyelamatkan nasib. Yang mau diselamatkan dalam ini kalau rumah tadi,” katanya.

Meski difungsikan sebagai pagar rumah, namun yang dijaga oleh kader tidak hanya rumah itu saja, melainkan juga kebun, halaman, dan seterusnya.

Dalam konteks organisasi Muhammadiyah, kaderisasi dimaknai sebagai proses penyiapan orang yang akan menjadi garda terdepan untuk menyelamatkan dan menghidupkan organisasi.

Kaderisasi di Muhammadiyah, imbuh Izzul, mengalami perkembangan mulai dari zaman Kiai Ahmad Dahlan sampai sekarang. Dia mencontohkan Kiai Dahlan dulu melakukan kaderisasi kepada murid atau santri-santrinya.

Di Muhammadiyah juga dikenal istilah “kader kintilan” atau kader yang melekat atau sering mengikuti tokoh senior, sebagaimana yang dipraktikan oleh Kiai Dahlan saat mengajak santri-santrinya dalam berbagai aktivitas di Muhammadiyah.

“Kemudian Muhammadiyah berkembang-berkembang sampai kemudian ketika sudah semakin terorganisir, maka proses kaderisasi itu kemudian memasuki tahap yang lebih formal,” ungkap Izzul Muslimin.

Saat ini kaderisasi di Muhammadiyah bisa dilakukan melalui banyak pintu, seperti Baitul Arqom atau Darul Arqom lewat organisasi otonom (Ortom), Majelis, Lembaga, dan seterusnya, termasuk juga kaderisasi melalui Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).

Namun demikian, setelah melalui berbagai jenjang kaderisasi formal, tidak kemudian bisa disebut sebagai kader sejati atau kader terbaik jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata.

“Karena yang diukur adalah bagaimana dia berproses dalam Muhammadiyah dan dia menjadi Muhammadiyah. Dan itu nanti diuji, diujinya dalam berbagai kegiatan, ketika dikasih amanah seperti apa,” katanya.

Tapi di sisi lain, kader-kader yang telah melalui pengkaderan formal tentu diharapkan lebih baik kesejatian kadernya jika dibandingkan dengan yang lain dalam mengemban amanah dan di berbagai kegiatan.

“Orang yang melalui proses perkaderan formal itu diharapkan lebih baik tentunya, karena dia mendapatkan knowledge secara langsung dan resmi. Sehingga ketika dalam implementasinya dia harusnya lebih,” ungkapnya.

Kader di Muhammadiyah setidaknya memiliki tiga kriteria, pertama adalah kader persyarikatan yaitu yang terlibat dalam berbagai aktivitas persyarikatan. Kedua kader umat, orang yang pernah berproses di Muhammadiyah kemudian terjun ke masyarakat umum dan bermanfaat.

“Ada juga kader bangsa, yaitu orang yang berproses di Muhammadiyah entah itu di sekolahan dan lain sebagainya, kemudian dia berada di peran-peran kebangsaan,” katanya.

Melalui tiga kriteria kader itu, Izzul mendorong potensi kader di sekolah atau perguruan tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah untuk berdiaspora, sebab menjadi kader tidak harus menjadi pimpinan di Muhammadiyah. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini