Marak Gejala Muhammadiyahphobia, Mengapa?
UM Surabaya

Belakang ini, ada gejala sosial di tengah masyarakat yang menampakkan pandangan dan sikap negatif, sinisme, kerdil, penuh kebencian bahkan ancaman pembunuhan terhadap warga Muhammadiyah. Gejala sosial tersebut saya sebut dengan istilah Muhammadiyahphobia.

Amatan saya, gejala Muhammadiyahphobia terpotret beberapa di media sosial.
Pertama, sikap sinis Prof. Thomas Djamaluddin (mantan peneliti LAPAN) terhadap metode Hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal (Idul Fitri) yang dianggap usang. (tdjamaluddin.wordpress.com/Mei 2012)

Kedua, penolakan izin penggunaan Lapangan untuk salat Idul Fitri warga Muhammadiyah oleh bupati Pekalongan dan wali kota Sukabumi. Padahal Lapangan itu milik masyarakat dan perawatannya hasil pembayaran pajak masyarakat, harusnya semua kelompok masyarakat bisa menggunakan. (pikiranrakyat.com/18/4/3023).

Ketiga, ancaman pembunuhan warga Muhammadiyah oleh Andi P. Hasanuddin (ASN BRIN) dikarenakan Muhammadiyah dianggap pembuat onar, pembangkang terhadap Pemerintah karena berbeda penetapan hari raya Idul Fitri. Dan perbedaan itu dianggap Muhammadiyah disusupi oleh ormas HTI yang sudah dilarang di Indonesia. (kompas.com/27/4/2023)

Keempat, sikap sinis-sempit Ustaz Hafzan El Hadi yang menyebutkan Muhammadiyah sama dengan sekte Syiah yang sudah di fatwa sesat oleh MUI, hanya karena berbeda penetapan hari raya dengan pemerintah. (timesnews.co.id/28/4/2023)

Dari fakta-fakta di atas, persoalannya mengapa gejala Muhammadiyahphobia itu muncul dan terlihat masif di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dan klaim sebagai bangsa Pancasilais menjunjung tinggi budaya toleran (saling menghargai perbedaan) dan budaya moderat (sikap sosial beragama tengahan dan penuh kesejukan)?

Menurut Haidar Buldan Tantowi (pakar psikologi internet UGM), ujaran kebencian (phobia) terhadap individu atau kelompok dapat didorong oleh berbagai faktor:

Pertama, karena dalam pribadi seseorang ada prasangka negatif kepada kelompok tertentu, misalnya ada penilaian bahwa sebuah kelompok, agama, atau etnis tertentu tidak beradab, pelit, sangat eksklusif dan lain sebagainya.

Oleh karena adanya prasangka tersebut, seseorang mendapati perasaan jijik terhadap kelompok lainnya, kondisi ini senantiasa mendorong mereka melontarkan ujaran kebencian.

Analisis ini cocok untuk melihat bagaimana seorang Thomas Djamaluddin dan bupati- wali kota yang sangat benci Muhammadiyah karena Muhammadiyah dianggap eksklusif, tidak patuh, dan sebagainya.

Kedua, kebencian bisa jadi terjadi dari perilaku trolling. Kategori trolling ini tidak didorong oleh perasaan benci kepada kelompok tertentu. Melainkan, mereka melontarkan ujaran kebencian malah untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi.

Mereka melakukan itu karena (hal) itu menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, (tapi) niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri.

Dalam keilmuan psikologi, pelaku trolling tersebut diklasifikasikan kepada bentuk kepribadian sadisme, dimana mereka memperoleh kesenangan dari kegiatan membuat orang menderita.

Jadi, semakin emosi kita, maka itu membuat mereka semakin senang. Analisis ini cocok terhadap apa yang dilakukan oleh Andi P. Hasanuddin yang menampakan ujaran kebencian terhadap Muhammadiyah hanya karena emosi yang tidak terkontrol.

Ketiga, didorong oleh kondisi dalam dunia internet itu sendiri. Dunia internet/maya memungkinkan seorang untuk mendapati anonimitas. Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian. Oleh karena dapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk dan lebih mungkin untuk menyampaikan pandangan dan perasaan mereka. (ugm.ac.id/7/7/2022)

Analisis ini cocok untuk mengamati yang dilakukan Ustaz Husein El Hadi. Dengan begitu, semangat melontarkan tuduhan kepada Muhammadiyah sama dengan sekte Syiah melalui media sosial yang Maya yang anonim, dan jika ketemu langsung belum tentu berani.

Selain dari perspektif psikologi kebencian (phobia) terhadap Muhammadiyah, menurut saya, ada faktor lain yaitu problem cara pandang (filosofis paradigmatik) terhadap konsep perbedaan (pluralisme) dalam masyarakat majemuk secara Suku, Agama, Ras, Golongan (SARA) seperti konteks Indonesia.

Cara pandang mereka menganggap bahwa berbeda adalah negatif, jelak, tidak bermoral sehingga yang berbeda dengannya dianggap musuh yang boleh di-bully, didiskriminasi, di caci maki, bahkan boleh dibunuh.

Cara pandang ini saya sebut cara pandang homogen sebuah cara pandang serba sama, serba tunggal, serba satu dalam melihat persoalan di masyarakat, sulit menerima yang berbeda dan yang banyak, padahal realitas kita ini sangat plural.

Mereka sering terjebak dalam melihat atau menyikapi orang lain yang berbeda menggunakan ukuran pikiran dan standar kebenaran menurut dirinya, artinya yang bener, yang baik itu harus sesuai dengan ukuran dirinya kalau orang lain berbeda berarti jelak, boleh di musuhi.

Seperti yang dilakukan oleh mereka yang sangat phobia terhadap Muhammadiyah, mereka kepinginnya warga Muhammadiyah itu harus sama, harus tunggal dan sesuai dengan keinginan dirinya. Karena Muhammadiyah berbeda dengan keinginan dan standar kebenaran maka Muhammadiyah dianggap musuh yang boleh di-bully bahkan dihabisi.

Lawan cara pandang homogen adalah cara pandang heterogen. Sebuah cara pandang yang melihat realitas sosial ini penuh dengan perbedaan. Artinya dalam kehidupan sosial realitasnya tidak hanya ada kita, tidak hanya satu sudut pandang, satu kelompok, satu kebenaran, tetapi banyak orang, banyak pikiran, banyak kelompok, dan mereka ini punya hak yang sama untuk hidup, berekspresi dan berpandangan dalam hal apa pun.

Berbeda adalah hal yang lumrah, biasa di masyarakat yang majemuk ini dan sudah menjadi sunatullah, sehingga yang terpenting adalah cara menyikapi terhadap perbedaan adalah memberi ruang yang sama dengan saling menghargai dan menghormat.

Dari analisis di atas menurut saya yang sangat cocok dan harus terus dilestarikan dalam kehidupan berbangsa yang plural seperti Indonesia ini adalah mengembangkan paradigma filosofi cara pandang heterogenitas.

Sebab kemajemukan Indonesia membutuhkan pandangan dan sikap yang bisa memberikan ruang hak dan kewajiban yang sama bagi semua yang berbeda di tengah masyarakat yang sangat majemuk secara SARA. (*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini