Akun Medsos Berwajah Kajian, tapi Kok Provokatif?
Dian Berkah. foto: dok/pri
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Dian Berkah, SHI, MHI,
Dosen UM Surabaya dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim

Pertanyaan:

Bagaimana merespon merebaknya akun medsos berwajah kajian tarjih Muhammadiyah, tapi tidak sesuai manhaj tarjih, bahkan cenderung provokatif.

Jawaban:

Alhamdulillah dan terima kasih atas pertanyaan dan konfirmasinya. Berdasarkan hasil verifikasi. Tak disadari di era digital ini. Merebaknya situs media sosial mengatas namakan kajian tarjih Muhammadiyah. Padahal kontennya tidak berwatak manhaj tarjih. Bahkan banyak yang bersifat provokatif.

Menyikapi fenomena tersebut, tentu siapa pun memiliki hak membaca setiap putusan atau hasil ijtihad Muhammadiyah melalui majelis tarjih dan tajdid. Tentu semua itu harus didasari dengan memahami dan mengerti tentang karakter bermuhammadiyah. Terutama, faham keagamaan Muhammadiyah.

Dalam hal ini, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah sudah menegaskan dalam manhaj tarjih. Ada wawasan atau perspektif dalam manhaj tarjih yang bersifat terbuka dan toleran. Terbuka maksudnya dalam putusan tarjih selalu bersifat terbuka.

Jika memang ada kritik atau masukan pendapat yang berbeda padangan dengan putusan tarjih tersebut. Tentu masukan yang disampaikan dengan cara yang standar dan akademik. Bukan sebaliknya, berpendapat semaunya sendiri, tanpa didasari dengan ilmu.

Adapun wawasan toleran maksudnya, setiap putusan Muhammadiyah hasil musyawarah tarjih secara jama’i didudukan secara toleransi. Terutama ketika ada pendapat lain yang berbeda.

Begitu juga seharusnya, sebagai warga Muhammadiyah dan siapa pun harus bisa memosisikan dirinya, ketika ada perbedaan pandangan dengan putusan tarjih Muhammadiyah. Tanpa disadari, terkadang pandangan tersebut hanya sepotong-sepotong. Terkadang kritiknya cenderung bersifat provokatif. Ada juga yang cenderung menjelekan Persyarikatan Muhammadiyah.

Sebagai catatan, bukankah kita tahu bahwa berpendapat itu tidak boleh semaunya sendiri. Apalagi cenderung merasa benar sendiri. Sementara mendahulukan hasil ijtihad secara berjama’ah (ijtihad jama’i) lebih baik dari hasil ijtihad secara sendiri (ijtihad infiradhi).

Begitu juga, bukankah kita tahu bahwa siapa pun tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak didasari dengan ilmu. Karena semua itu akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini