Apakah Ulama Kami Pernah Mencela Ulama Salafi?
Nurbani Yusuf
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Kami jemput kalian dengan karpet merah. Tahdzir kafir yang kami dapatkan

***

Sepuluh tahun lebih, masjid, musala dan halaqah kami terbuka untuk dakwah Salafi. Puluhan mungkin ratusan jamaah Salafi salat di masjid kami. Ustaznya kami undang, kami ambil ilmunya, kami dapatkan hikmahnya. Kami sediakan mihrab dan mimbar kami dan kami suka dengan ghirah dan militansinya,

Kami ikhlas makmum di belakangnya. Kami dengar tausiahnya tanpa curiga dan kami makan bersama setelahnya. Kami juga datang bersilaturrahmi sebagaimana lazimnya tak ada persoalan dan berjalan aman

Kami memuliakannya, menghormatinya sebagai bagian dari keluarga. Saling menyayangi, saling mengasihi untuk izzul Islam. Kami menyadari banyak kekurangan dan kelemahan sebab itu kami terus berbenah.

Ada masjid kami yang hanya bisa menyelenggarakan salat fardu berjamaah tiga kali, dua kali, bahkan ada musala kami yang hanya bisa subuh dan maghrib karena kondisi jamaah yang masih jauh dari harapan.

Beberapa imam salat di masjid kami dengan kemampuan bacaan seadanya datang sepulang dari kebun, sawah, ladang atau pulang dari melaut. Tidak sempat belajar dan memperbaiki bacaan Qur’an karena tuntutan hidup.

Sebab itu kami senang dan suka kita bisa saling membantu bahu membahu, saling berbagi dan berkabar baik. Kami sadar problem dakwah dan keumatan sangatlah kompleks.

Kami tak bisa selesaikan sendirian, tapi harus bersama- sama dengan NU, DDII, Al Irsyad Persis, Nahdhatul Wathan dan semua ormas Islam mana pun yang setujuan. bahkan kami juga bekerja dengan kelompok atau ormas kepemudaan kewanitaan dari berbagai elemen saling bekerja sama.

Khusus dengan Salafi, kami banyak persamaan. Kita punya jargon sama, kembali pada Al-Qur’an dan sunah maqbullah. Sama-sama tak baca usholi, tak baca sayidina, tidak ziikr keras setelah salat fardu dan masalah furu’ lainnya.

Kami ikhlas makmum di belakangnya, kami dengar tausiyahnya, kami cium tangannya tanpa curiga dan kami makan bersama setelahnya. Kami juga datang bersilaturrahmi sebagaimana lazimnya, tak ada persoalan dan berjalan aman,

Hingga suatu saat ketika ulama kami di-tahdzir, disesatkan, dikafirkan, disebut pembela bid’ah, di cap qadariah, liberal, sekuler.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini