Tawuran pelajar tawuran kembali marak di beberapa kota. Kabar tersebut tersiar luas di media sosial.
Di Yogyakarta, sekelompok siswa terekam kamera mendatangi sebuah sekolah dengan melakukan penyerangan dan membawa sejumlah perlengkapan yang diayunkan.
Di Cirebon, beberapa pelajar dari dua SMK terlibat aksi tawuran saat sedang melakukan konvoi dalam rangka merayakan kelulusan sekolah. Dalam kejadian tersebut satu pelajar mengalami luka bacok.
Radius Setiyawan, pengkaji budaya popular UM Surabaya, menilai jika kasus tawuran yang kerap terjadi merupakan sesuatu hal yang kompleks dan faktornya tidak tunggal.
“Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah soal ruang-ruang publik untuk aktualisasi anak muda yang minim, ketika ruang terbatas, maka energinya akan digunakan untuk berbuat yang tidak produktif seperti tawuran,” ujar dia, Kamis (16/5/2024).
Maka, kata Radius, salah satu cara menekan angka tawuran di kalangan anak muda adalah penyediaan ruang publik yang cukup oleh pemerintah.
“Berbicara soal ruang tentunya bukan hanya soal ruang fisik tetapi juga terkait ruang sosial,” tegasnya.
Radius lalu menjelaskan, kondisi ruang publik yang tersedia untuk anak-anak remaja atau gen-Z yang berada di kelas bawah sangat sedikit tersedia.
Mereka yang banyak temuan terlibat aktivitas gangster atau kriminal seperti tawuran tidak banyak memiliki pilihan untuk dapat menggunakan ruang secara bebas.
Dalam banyak kasus, ruang-ruang aktualisasi untuk remaja urban terus mengalami privatisasi. Dikelola oleh swasta dan dikenakan biaya yang tidak murah.
Hal tersebut dibuktikan dengan mulai menjamurnya tempat-tempat olah raga dan co-working space yang berbayar.
“Privatisasi ruang publik jelas menimbulkan permasalahan sosial yang kompleks meskipun privatisasi basisnya pada faktor ekonomi, namun permasalahan yang ditimbulkannya lebih banyak berdimensi sosial,” papar Radius.
Dia melihat peristiwa tawuran yang terjadi berulang-ulang di banyak kota di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh menyempitnya ruang publik bagi remaja, terutama kelas bawah.
Kondisi ini tentunya perlu menjadi perhatian pemerintah. Secara fisik perlu ada tempat yang terbuka untuk semua level kelas.
“Secara sosial, ruang tersebut harus berisi program-program yang kreatif dan aktual.” kata alumnus Master Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada ini.
Radius menambahkan, cara pandang terhadap remaja yang selama ini mengemuka di ruang publik mengandung bias kelas.
“Wacana remaja selama ini banyak didominasi kelas menengah-atas. Anak-anak muda sukses yang diglorifikasi secara berlebihan tanpa benar-benar jujur melihat dari keluarga mana dia berasal. Dalam banyak narasi, remaja kelas bawah dianggap tidak eksis,” paparnya.
Terakhir, dalam banyak kasus tawuran yang terjadi akhir-akhir ini, ia menegaskan, peran negara harus hadir dan mengevaluasi terkait beragam kebijakan bahwa ruang publik sangat mungkin bisa diakses dan dinikmati siapa saja, terutama mereka dengan kelas golongan menengah ke bawah.
“Agar energi anak muda yang berlebih diaktualisasikan dalam ruang kompetisi yang produktif dan tidak diekspresikan dengan kompetisi yang destruktif seperti tawuran,” pungkas Radius. (ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News