Salafisme Versus Muhammadiyah: Puritanisme Historis Versus Moderat Berkemajuan
Ilustrasi: muhammadiyah.or.id
UM Surabaya

Salafisme dan Ideologi Puritanisme

Istilah salaf bukanlah hal yang asing dalam diskursus Umat Islam sejak lama. Salaf dimaknai sejak lama sebagai sebuah pemikiran ulama di abad pertengahan (Robbani, 2017).

Pemikiran tentang makna salaf ini kemudian memperoleh pemaknaan baru di era teknologi abad-20, yaitu pembentukan sebuah kelompok sosial yang hendak mengajak manusia untuk memurnikan ajaran Islam dengan metode kembali kepada praktik Kenabian masa lalu. Pada keadaan ini ia berubah menjadi sebuah faham (isme) dari makna awalnya.

Salafisme merupakan sebuah faham yang mengajak umat untuk kembali pada praktik kenabian masa lalu. Salafisme mengacu pada gagasan historis untuk kembali melakukan praktik perilaku dan peribadatan di era Nabi dan sahabat masa lalu. Gagasan romantisme sejarah ini sendiri hakikatnya lahir dari pemikiran bahwa problem keumatan masa kini telah jauh menyimpang dari apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan juga para sahabat masa lalu. Pemilihan model keislaman masa lalu dan membangun sebuah relasi sosial berbentuk kelompok eksklusif ini telah berubah dari gagasan makna salafusshalih pada awalnya (Syaukani, 2022).

Salah satu gagasan pemikiran yang dikembangkan oleh Salafisme adalah ide puritanisme. Sebuah pemikiran yang berfokus pada ide pemurnian Islam secara ketat.

Islam harus dijauhkan dari segala hal yang menurutnya tidak bersumber dari Islam dan tidak pernah diajarkan sama sekali oleh Nabi dan para Sahabat, seperti: filsafat, tasawuf, juga penerapan seni dan budaya.

Kesemua hal tersebut dianggap sebagai sebuah bid’ah dan kesesatan. Islam harus dimurnikan dengan cara kembali kepada praktik Kenabian dan para Sahabat.

Ide pemikiran ini menjadikan para pemeluk Islam harus terpaku pada teks skriptual dan penerapan doktrin-doktrin hukum secara ketat.

Pemahaman atas penggunaan akal menjadi sangat terbatas, dan ia tidak dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan utama dalam menentukan benar dan salah.

Dibandingkan penggunaan rasio akal yang luas dalam menginterpretasikan narasi teks keagamaan, kelompok Salafi cenderung mengerdilkan peran akal dalam menginterpretasikan segenap teks keagamaan.

Penafsiran terhadap teks-teks keagamaan melahirkan pemikiran yang otoriter  dibandingkan gagasan yang otoritatif.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini