*) Oleh: Dr Zainuddin MZ, Lc, MA
Ketua Lajnah Tarjih Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur
Mewashalkan (membaca terus bersambung tanpa berhenti) bacaan surat al-Fatihah dalam salat, ada yang berpendapat bahwa hal itu menyebabkan tidak sahnya salat. Bagaimana yang sebenarnya?
Yang perlu lebih dulu perlu dimengerti bahwa memang dalam salat, membaca surat al-Fatihah merupakan bacaan pokok pada tiap-tiap rakaat.
Di samping itu perlu pula dimengerti bahwa dalam melakukan salat sedapat mungkin kita melakukannya sesuai dengan keteladanan dari Rasulullah saw. Termasuk dalam membaca surat al-Fatihah.
Bagaimana etika Nabi saw. sewaktu membaca surat al-Fatihah dapat dipahami dari beberapa hadis berikut ini:
Hadis Anas bin Malik
وَعَنْ قَتَادَةَ قَالَ: سُئِلَ أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟، فَقَالَ: كَانَتْ مَدًّا، وَفِي رِوَايَةٍ: (كَانَ يَمُدُّ صَوْتَهُ مَدًّا) ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ, يَمُدُّ بِـ بِسْمِ اللهِ، وَيَمُدُّ بِـ الرَّحْمَنِ، وَيَمُدُّ بِـ الرَّحِيمِ
Qatadah berkata: Anas ditanya, bagaimana sifat bacaan Nabi saw.? Ia menjawab: Bacaan Nabi saw. dengan memanjangkan. Dalam riwayat lain: (Nabi saw. memanjangkan suaranya). Nabi saw. membaca basmalah. Yakni dengan memanjangkan bismillah, arrahman dan arrahim. (Hr. Bukhari: 4758, 4759; Hakim: 852; Ibnu Hibban: 6317; Abu Dawud: 1465; Nasai: 1014; Ibnu Majah: 1353; Daraqutni: 1/308, hadits: 23.
Hadis Umu Salamah
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: ( كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ, يَقُولُ:) (بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) (ثُمَّ يَقِفُ, الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ يَقِفُ) (يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً) (وَكَانَ يَقْرَؤُهَا: مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ)
Abdullah bin Abi Mulaikah berkata: Umu Salamah ditanya perihal sifat bacaan Nabi saw. Ia berkata: (Nabi saw. memotong-motong bacaannya) (Nabi saw. membaca basmalah, hamdalah) (kemudian berhenti. Lalu beliau membaca arrahman arrahim, lalu berhenti) (Nabi saw. membacanya ayat demi ayat) (dan Nabi saw. membaca, Maliki yaumiddin). Hr. Hakim: 2910; Abu Dawud: 4001; Tirmidzi: 2927; Ahmad: 26625; Baihaqi: 2212; Daraqutni: 1/312, hadis 37.
Catatan:
Dari hadis-hadis tersebut dapat dipahami bahwa sewaktu membaca surat al-Fatihah hendaknya seseorang membacanya dengan ayat demi ayat.
Tidak disambung, sekalipun dalam ilmu bacaan ia boleh saja menyambung ayat yang satu dengan ayat yang lain yang memang ada tanda kebolehan menyambung, tetapi hendaknya berhenti yang memang ada tanda berhenti yang disebut tanda waqaf mutlak.
Seperti pada akhir ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, yang ditandai dengan huruf tha’.
Untuk itu, perlu dipelajari ilmu tajwid. Yakni ilmu cara membaca Alquran dengan baik.
Bagi yang sudah mengetahui ilmu tersebut dan melanggarnya terutama yang mestinya wajib berhenti tetapi ia tidak berhenti atau yang semestinya tidak boleh berhenti tetapi ia justru berhenti yang berakibat mengubah makna, maka hal itu merupakan kesalahan.
Seperti kalau melakukan waqaf qabih. Keterangan ini bukan untuk memberi kesan bahwa belajar agama itu sukar dan berat, tetapi justru untuk memberi kesan bahwa dalam Islam masa belajar dan bahan yang harus dipelajari, terutama yang berkenaan dengan ibadah yang tiada hentinya.
Kesimpulannya, dalam membaca surat al-Fatihah sewaktu salat dilakukan dengan tartil, sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi saw dan tidak perlu kita memberi vonis batal salatnya bagi yang tidak demikian.
Ditemukan hadis Qudsi, bahwa pemberhentian Nabi saw pada setiap ayat tersebut merupakan wujud dialog antara hamba dan sang Khalik.
Setiap ia membaca satu ayat, ia menunggu jawaban dari Allah swt dan begitu seterusnya.
Hadis Abu Hurairah
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ) (فَنِصْفُهَا لِي، وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي) (وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ، قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ, فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ, صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ, غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ, وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي, وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ)
Abu Hurairah ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah swt. berfirman: Aku bagi salat (surat al-Fatihah) menjadi dua bagian. Separuh milik-Ku dan separuh milik hambaKu. Jika ia membaca alhamdu lillhi rabbil alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan yang mengetur alam semesta).
Aku menjawab: Hamba-Ku memuji-Ku. Jika ia membaca arrahman arrahim. Aku menjawab: Hamba-Ku memuja kepada-Ku. Jika ia membaca maliki yaumid din (yang merajai di hari kemudiian).
Aku menjawab: Hamba-Ku mengagungkan Aku. Jika ia membaca iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan).
Aku menjawab: Inilah Aku dan inilah hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia membaca ihdinas shirathal mustaqim, shirathal ladzina an’amta alaihim ghairil maghdhubi alaihim wa la dhallin (ya Allah tunjukilah aku jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri kenikmatan, bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat).
Maka Aku berfirman: Inilah yang diminta hambaKu dan baginya apa yang ia minta. (Hr. Muslim: 395; Abu Dawud: 821; Nasai: 909; Ibnu Majah: 838; Ahmad: 7400).
Oleh sebab itu, hendaknya setiap orang yang menjalani salat merasakan kenikmatan lantaran bisa berkomunikasi langsung dengan Allah swt.
Maka sungguh ia ingin memahami betul apa yang sedang ia munajatkan kepada Allah swt dan tidak ada sikap tergesa-gesa, serasa ia ingin berlama-lama dengan-Nya. (*)