Tambang pada Timbangan Muhammadiyah dan NU
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Hipotesisnya adalah:
Muhammadiyah menjadi sangat puritan.
NU menjadi sangat modernis.

***

Di awal berdiri Kyai Dahlan mengambil jalan kooperatif: menerima subsidi yang diberikan kompeni untuk membiayai sekolah yang barusan didirikannya.

Di saat yang sama: sebagian besar ulama kultural (NU) mengambil jalan non-kooperatif: menolak dan menjauh dari pemerintahan kompeni.

Kyai Dahlan dan ulama-ulama kultural saat itu, keduanya memiliki hujjah yang dibenarkan, meski mengambil jalan berbeda.

***

Mencandra perspektif fenomenologis pada sekumpulan dan sederet peristiwa yang melatari pemikiran dengan sedikit telaah kritis secara obyektif dan proporsional-rasionalistik

Di masa sekarang,
Bagi Muhammadiyah: mungkin rezim penuh mudarat sehingga harus dilawan sebagai realisasi nahi munkar.
Bagi NU: rezim adalah keluarga, bagian dari jam’iyah besar, sebab itu harus adaptif.

Tak ada keharusan bersikap kooperatif. Tidak ada larangan bersikap non-kooperatif. Keduanya niscaya, tegakkan izzul Islam dengan cara berpikir berbeda.

***

Boleh jadi Muhammadiyah dan NU telah bertukar tempat: Muhammadiyah yang mulanya kooperatif berubah menjadi non-kooperatif.
NU yang mulanya non-kooperatif berubah menjadi kooperatif.

Hipotesisnya adalah:
Muhammadiyah menjadi sangat puritan. NU menjadi sangat modernis.

Dua sikap ini layak disimak dengan seksama, tentang paradigma, perspektif dan stressing kedua ormas Islam terbesar ini dalam menyikapi banyak soal, terutama bersangkut dengan dinamika politik kekuasaan dan kaitannya dengan kebijakan yang diambilnya.

Ibarat pendulum, Muhammadiyah di era Pak AR Fakhruddin cenderung kooperatif dan NU era Gus Dur cenderung non-kooperatif.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini