Sebuah Refleksi Etika Politik
foto: detik.com
UM Surabaya

*) Oleh: Syahrul Ramadhan, SH, M Kn
Sekretaris LBH AP PD Muhammadiyah Lumajang

Sejarah Islam menyimpan banyak kisah yang tidak hanya menjadi pelajaran spiritual, tetapi juga memberikan refleksi mendalam tentang etika politik. Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abu Bakrah kisah mereka menggambarkan pentingnya etika dalam konteks politik dan sosial. Artikel ini akan menguraikan kisah mereka dan menganalisisnya dari sudut pandang etika politik.

Abdullah Bin Ubay Bin Salul Dan Kemunafikan

Abdullah bin Ubay bin Salul adalah tokoh yang sangat dikenal dalam sejarah Islam sebagai simbol kemunafikan. Abdullah bin Ubay adalah seorang pemimpin suku Khazraj di Madinah yang merasa posisinya terancam oleh kedatangan Nabi Muhammad SAW. Sebelum kedatangan Nabi, Abdullah bin Ubay hampir dinobatkan sebagai raja di Madinah, tetapi kedatangan Nabi Muhammad SAW mengubah situasi politik secara drastis.

  1. Surah Al-Munafiqun:

Allah SWT mengungkapkan kemunafikan Abdullah bin Ubay dan pengikutnya dalam Surah Al-Munafiqun. Ayat-ayat ini menjelaskan bagaimana orang munafik menunjukkan kesetiaan di depan umum tetapi sebenarnya mereka merencanakan keburukan di balik layar.

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun)

  1. Surah Al-Baqarah:

Ayat ini menjelaskan karakteristik umum dari orang-orang munafik, yang berusaha menipu Allah dan orang-orang beriman, tetapi sebenarnya mereka hanya menipu diri mereka sendiri.

“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian,” pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah)

Abdullah bin Ubay bin Salul dikenal dengan upaya-upayanya yang berulang kali mencoba merusak persatuan umat Islam. Salah satu contoh paling terkenal adalah ketika ia menarik pasukannya dari Perang Uhud, yang hampir menyebabkan kekalahan bagi kaum Muslimin.

Abu Bakrah Dan Integritas

Di sisi lain, Abu Bakrah adalah contoh yang kontras dengan Abdullah bin Ubay. Nama lengkapnya adalah Nufay ibn al-Harith, namun lebih dikenal dengan kuniyah-nya, Abu Bakrah. Dia adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal karena kejujurannya dan integritasnya. Abu Bakrah adalah salah satu dari empat saksi dalam peristiwa fitnah yang melibatkan tuduhan terhadap Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW. Ketika terjadi Perang Bani Musthaliq, Abdullah bin Ubay bin Salul menunjukkan kemunafikannya secara terbuka. Ia berusaha memecah belah kaum Muslim dengan memfitnah Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW, dalam peristiwa Ifk. Abdullah menyebarkan berita bohong bahwa Aisyah telah berselingkuh, yang kemudian menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam.

Abu Bakrah, yang dikenal dengan keimanannya yang kuat, menjadi salah satu orang yang berdiri teguh di sisi kebenaran. Ia menolak ikut serta dalam fitnah tersebut dan selalu mendukung Nabi Muhammad SAW. Sikapnya ini menunjukkan bagaimana seorang Muslim harus bersikap dalam menghadapi kemunafikan dan fitnah yang dapat merusak etika politik dan sosial.

  1. Hadis Shahih Bukhari

Abu Bakrah meriwayatkan beberapa hadis, dan salah satu yang paling dikenal adalah tentang nasihatnya untuk tidak terlibat dalam fitnah (kekacauan dan perselisihan) dalam politik. Dalam Sahih Bukhari, ia meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Jika dua orang Muslim bertarung dengan pedang mereka, maka pembunuh dan yang terbunuh sama-sama di neraka.” (HR. Bukhari)

  1. Keteladanan dalam Keputusan Politik

Abu Bakrah dikenal karena ketegasannya dalam memegang prinsip kebenaran. Ia menolak untuk terlibat dalam perselisihan politik yang tidak berdasarkan pada keadilan dan kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa integritasnya dalam keputusan politik sangat kuat dan menjadi teladan bagi umat Islam. Abu Bakrah mengajarkan bahwa meskipun ada tekanan dari luar, prinsip-prinsip dasar tidak boleh dikompromikan demi kepentingan sesaat.

Dalil yang relevan dengan sikap ini terdapat dalam Al-Quran, surat Al-Anfal:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Refleksi Etika Politik

Karakteristik Abdullah bin Ubay bin Salul dan Abu Bakrah mencerminkan etika politik yang berbeda. Abdullah bin Ubay adalah contoh klasik dari seorang oportunis yang menggunakan kemunafikan untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh. Sikap dan tindakannya memperlihatkan bagaimana kepentingan pribadi dan ambisi dapat mengarahkan seseorang untuk mengkhianati kepercayaan dan merusak persatuan.

Sebaliknya, Abu Bakrah menunjukkan bahwa integritas dan kejujuran adalah landasan dari etika politik yang baik. Sikapnya yang teguh pada prinsip kebenaran, meskipun menghadapi tekanan dan fitnah, menunjukkan bahwa politik tidak harus kotor dan penuh intrik. Abu Bakrah mengajarkan bahwa seorang pemimpin atau individu dalam politik harus berpegang pada nilai-nilai moral yang tinggi dan tidak tergoda oleh keuntungan duniawi semata.

Dalam konteks modern, kisah-kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya integritas dalam kepemimpinan, Kesetiaan terhadap umat dan bahaya dari kemunafikan politik. Para pemimpin harus berusaha untuk meniru keteladanan Abu Bakrah dalam menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan menghindari sifat-sifat buruk yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul.

Dengan demikian, sejarah Islam tidak hanya menjadi pelajaran spiritual, tetapi juga panduan praktis dalam menjalankan etika politik yang baik dan benar. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini