Muhammadiyah dalam Belenggu Mihnah Kontemporer
foto: aan harianto
UM Surabaya

*) Oleh: Pradana Boy ZTF
Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Malang

Sejarah pemikiran adalah sejarah pergulatan doktrin dan zaman. Setiap zaman selalu melahirkan pemikiran yang senantiasa sinambung dengan kebutuhan masanya.

Dengan sendirinya, zaman yang berbeda memerlukan pemikiran yang tak sama. Prinsip ini bisa diterapkan untuk memahami perkembangan, evolusi dan bahkan revolusi pemikiran dalam satu individu atau kelompok sosial.

Dengan mengambil kasus dari khazanah intelektualisme Islam klasik, bisa ditampilkan kasus Imam Syafi’i dan al-Ghazali sebagai contoh betapa individu selalu mengalami perubahan orientasi pemikiran ketika berhadapan dengan latar sosial yang berbeda-beda.

Imam Syafi’i populer dengan perubahan fatwa-fatwa fikihnya dari Qawl al-Qadim menjadi Qawl al-Jadid, sementara al-Ghazali ilmuwan Muslim serbabisa itu, pada awalnya dikenal sebagai filsuf, tetapi pada fase akhir karier intelektualnya lebih sering ditampilkan sebagai representasi kaum sufi yang mungkin cenderung memusuhi filsafat.

Dinamika pemikiran selalu dipengaruhi konteks dan struktur sosial. Struktur sosial yang membentuk pemikiran itu bisa juga mencakup situasi politik. Dalam sejarah Islam, sebutlah mihnah sebagai contoh. Mihnah tidak lain adalah sebuah peristiwa politik yang berdampak besar pada penentuan corak pemikiran dalam Islam.

Dengan kata lain, mihnah adalah suatu bentuk pemihakan rezim politik terhadap suatu kelompok atau aliran pemikiran tertentu yang kemudian meniscayakan keberpihakan itu kepada khalayak. Karena sebuah pemikiran tertentu telah menjadi niscaya, maka perbedaan tidak lagi memiliki ruang.

Akibatnya, silih bergantinya pemikiran kadang ditentukan pula oleh kuasa. Seperti dicatat oleh George Abraham Makdisi (2000) dalam The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, empat khalifah Bani Abbasiyah yakni al-Ma’mun, al-Mu’tashim, al-Watsiq, dan al Mutawakkil memberlakukan ajaran kaum tradisionalis sebagai faham resmi negara dan meminggirkan –untuk tidak mengatakan memusuhi—kelompok rasionalis yang diwakili oleh Mu’tazilah.

Atau dengan kata lain, kemenangan Syafi’i atas kaum mutakallimun atau teolog. Akibatnya sangat jelas. Mereka yang tidak sefaham dengan ajaran Tradisionalisme. Syafi’i berisiko menghadapi peminggiran secara sosial politik dan bahkan siksaan.

Pada dasarnya, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi dalam sejarah. Ia selalu menjadi fenomena abadi sepanjang zaman. Fenomena pemikiran Islam di Indonesia kontemporer menunjukkan bahwa gejala mihnah itu makin hari makin menguat.

Perbedaannya adalah bahwa mihnah kontemporer mewujudkan diri dalam bentuk penghakiman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam di luar kekuatan politik negara. Fenomena Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia, Gerakan Tarbiyah dan Salafi merupakan bukti nyata lahirnya mihnah kontemporer dengan aktor-aktor kelompok-kelompok masyarakat sipil dari kalangan Islam.

Di Indonesia, secara formal negara memang tidak terlibat secara langsung dalam proses mihnah ini. Tetapi lembaga keagamaan yang berafiliasi kepada negara seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya juga memiliki peran sebagai aktor mihnah.

Tetapi posisi MUI sedikit ambigu. Di satu sisi, MUI adalah suara negara. Tetapi di sisi lain, MUI merupakan kumpulan kelompok-kelompok masyarakat sipil Islam yang beroperasi di luar negara. Tetapi di luar soal ini, MUI juga merupakan salah satu aktor mihnah dalam latar Indonesia kontemporer.

Berdasarkan fakta-fakta sejarah, secara garis besar bisa disimpulkan bahwa mihnah dengan sendirinya menafikan perbedaan dan ruang untuk berdialog. Di dalamnya juga terkandung tendensi untuk memaksakan satu pemikiran sebagai kebenaran dan menafikan pemikiran lain yang dinilai sebagai salah.

Dalam latar Indonesia kontemporer, ruang untuk berbeda menjadi semakin sempit karena aktor-aktor mihnah kontemporer itu secara agresif memaksakan tafsir tunggal atas kebenaran dengan intensitas dan level mereka masing-masing.

Sejumlah bukti yang bisa ditampilkan misalnya adalah pengharaman suatu model pemikiran tertentu oleh sejumlah kelompok Islam yang kemudian berimplikasi pada penghakiman oleh publik terhadap para penganut sejumlah model pemikiran tertentu atau tafsir-tafsir yang berbeda dengan yang diyakini oleh kelompok-kelompok Islam aktor mihnah kontemporer tersebut.

Maka, menarik untuk sedikit ditelisik sejauh mana lahirnya kecenderungan mihnah kontemporer dalam latar Islam Indonesia ini memberikan pengaruh terhadap dinamika pemikiran Islam di Muhammadiyah. Harus dikatakan bahwa tendensi seperti ini sedikit banyak memberikan pengaruh pada dinamika pemikiran dalam Muhammadiyah.

Selama ini, analisa tentang tesis kemandegan pemikiran Muhammadiyah menaruh fokus perhatian pada faktor-faktor internal. Maka tulisan ini berpendapat, di samping meyakini bahwa faktor internal memiliki pengaruh signifikan, faktor lingkungan makro sosial dan politik di Indonesia memberikan kontribusi yang tidak kecil.

Perangkap mihnah kontemporer ini tanpa disadari mempengaruhi perubahan orientasi pemikiran dalam Muhammadiyah. Sejumlah analisa tentang Muhammadiyah memang sering menunjuk Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan puritan yang sampai batas tertentu terkesan “kaku” dalam menghadapi konteks-konteks perubahan sosial tertentu.

Tetapi sejarah awal Muhammadiyah menunjukkan bahwa gerakan ini sesungguhnya memiliki sifat toleran yang sangat tinggi. Toleran terhadap perbedaan identitas keagamaan, toleran terhadap penafsiran yang berbeda, serta terbuka terhadap intervensi akal dalam penafsiran doktrin-doktrin agama. Misalnya, bagaimana Kiai Ahmad Dahlan terlibat dialog aktif dengan Uskup Soegijapranata dalam membincang soal-soal keagamaan dan tentu saja bagaimana agama memiliki peran dalam ruang publik.

Di sisi lain, sebagai gerakan Islam puritan, Muhammadiyah sering digambarkan sebagai gerakan Islam yang memusuhi budaya lokal. Sesungguhnya, tidak serta-merta semua bentuk budaya lokal menjadi “musuh” Muhammadiyah. Karena hanya budaya dengan dimensi sinkretik yang cenderung menyimpang dari ajaran Islam murni yang menjadi perhatian Muhammadiyah.

Saya berkeyakinan bahwa di luar citra yang senantiasa menempatkan Muhammadiyah sebagai “musuh” kebudayaan, Muhammadiyah sebenarnya terlibat dalam usaha-usaha serius untuk melakukan pribumisasi Islam melalui metodenya sendiri.

Muhammadiyah memiliki tafsir sendiri terhadap “kebudayaan”, sehingga aktivitas dakwah Muhammadiyah dalam berbagai domain sosial, sebenarnya sama sekali tidak mengabaikan aspek kebudayaan ini.

Hanya saja, seperti sering disinyalir oleh almarhum Prof Kuntowijoyo, Muhammadiyah merupakan pengusung kebudayaan baru yang pelan-pelan menggerus kebudayaan lama, sehingga ia kelihatan sebagai anti-budaya. Penting dicatat, budaya tidak identik dengan seni, karena seni hanya merupakan salah satu elemen penyusun kebudayaan.

Semua konteks ini merupakan faktor penting dalam melahirkan dinamika pemikiran Islam yang cair di Muhammadiyah pada beberapa dekade silam. Keterbukaan Muhammadiyah ini sebenarnya telah membawa Muhammadiyah pada dilema.

Di satu sisi, hal itu merupakan keunggulan yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok Islam lain yang cenderung tertutup. Tetapi di sisi lain, keterbukaan ini telah menjadikan Muhammadiyah sedikit longgar dalam menyeleksi ideologi-ideologi lain yang secara perlahan ikut mewarnai corak pemikiran Muhammadiyah kontemporer.

Saya tidak hendak membuat generalisasi. Tetapi cukup banyak kasus di mana Muhammadiyah menjadi pilihan bagi kelompok-kelompok Islam ideologis sebagai media infiltrasi mereka. Dalam sejumlah kasus yang saya temui, terdapat sejumlah (mantan) aktivis Hizbut Tahrir, Salafi atau Tarbiyah yang kemudian beralih menjadi anggota Muhammadiyah.

Fenomena ini yang oleh Miftahul Huda diistilahkan dengan “Ikhwanul Muhammadiyah”. Akibatnya, mungkin karena prinsip Muhammadiyah yang terbuka tadi, infilntran-infiltran ini membawa fikrah non-Muhammadiyah dan kemudian memaksakannya ke dalam struktur pemikiran Muhammadiyah, seolah-olah itu merupakan pemikiran dasar Muhammadiyah.

Misalnya, sungguh terasa aneh, bahwa di lingkaran-lingkaran tertentu, sejumlah aktivis Muhammadiyah mengkampanyekan pentingnya Muhammadiyah untuk mendukung gagasan lahirnya khilafah Islamiyah atau negara Islam di Indonesia.

Ini terasa aneh dan ahistoris, karena sebagai sebuah gerakan Islam modernis, Muhammadiyah tidak hanya turut serta dalam mendorong Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan, tetapi juga turut mendukung prinsip kebhinekaan Indonesia dengan bentuk negara seperti yang sekarang ini.

Prof Din Syamsuddin bahkan pernah menyebutkan bahwa bagi Muhammadiyah pancasila sebagai dasar negara adalah final. Anehnya, karena sistem antibody –meminjam istilah Prof Amin Abdullah—dalam Muhammadiyah yang lemah terhadap segala sesuatu yang secara fisik berbungkus Islam, infiltran-inflintran ideologis itu justru lebih mudah mendapatkan tempat dalam kancah pemikiran Muhammadiyah ketimbang kader-kader Muhammadiyah yang lahir dari rahim pengkaderan dan pendidikan Muhammadiyah sendiri.

Alasan penolakan itu antara lain adalah karena kader-kader muda Muhammadiyah ini mengalami persentuhan dengan gagasan-gagasan kontemporer melalui mobilitas intelektual yang mereka alami di berbagai belahan dunia, yang tidak semuanya adalah dunia Islam.

Jika ditelisik, sesungguhnya suara-suara penolakan terhadap kader-kader muda yang berusaha mempertahankan kesinambungan modernitas Muhammadiyah itu lebih banyak lahir dari para infiltran daripada dari kalangan Muhammadiyah sendiri. Ini setidaknya menunjukkan keberhasilan para infiltran itu mempengaruhi pola pikir dasar Muhammadiyah, yang pada awalnya bersifat kosmopolit.

Inilah yang di antara sebab-sebab lainnya, menjadikan Muhammadiyah resisten terhadap gagasan-gagasan baru dan kemudian terperangkap dalam mihnah atas pemikiran baru tersebut. Sehingga, Muhammadiyah yang pada awalnya toleran, terbuka dan lentur dalam menyikapi ide-ide baru dan perbedaan, secara perlahan tapi pasti tergiring ke arah pola pikir ala mihnah ini.

Maka, jika dikontekstualisasikan dalam kondisi kontemporer Muhammadiyah, mihnah seperti yang dipraktikkan oleh sejumlah khalifah Bani Abbasiyah ini menjelma dalam wujudnya yang tak sama namun memiliki efek yang kurang lebih sepadan.

Seperti yang disinggung di atas, mihnah dalam konteks masa kini bukan terwujud dalam bentuk pemihakan sebuah rezim penguasa atas wacana tertentu, tetapi bahkan telah bergerak lebih jauh dalam bentuk wacana publik yang lalu menjelma seolah-olah sebagai
penentu kebenaran.

Maka pemegang tampuk mihnah dalam konteks Muhammadiyah, bukan semata mata berada di tangan para pemegang otoritas dalam Muhammadiyah, tetapi juga publik Muhammadiyah. Akibatnya, penghakiman terhadap pemikiran-pemikiran tertentu begitu sering kita dengar terjadi di Muhammadiyah.

Karena seringnya terjadi penghakiman-penghakiman seperti ini, kalangan pemikir Muhammadiyah, terutama kelompok muda yang masih mencari eksistensi, sering kali mengalami keengganan untuk berolah fikir dalam naungan Muhammadiyah.

Pada gilirannya, hambatan proses dinamisasi pemikiran di Muhammadiyah semakin terasa, seperti yang sampai hari ini kita saksikan, meski pun sinyalemen akan kemandegan itu sudah didengungkan lebih dari dua dasawarsa silam.

Sebelum terlalu jauh, maka sifat dasar Muhammadiyah yang terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru itu harus dikembalikan, dan pada saat yang sama mengeliminasi setiap potensi mihnah terhadap pemikiran-pemikiran yang berbeda. Karena jika sikap-sikap ala mihnah ini berkembang, maka pintu gerbang menuju fanatisme menjadi semakin terbuka.

Sementara fanatisme adalah sebuah sikap yang bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip modernitas yang sudah sangat lama menjadi ciri tak terpisahkan dari citra dan jati diri Muhammadiyah. (*)

(Disampaikan dalam Regional Meeting bersama LHKP se-Jawa di Malang 17-18 Mei 2023)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini