Dakwah, Bilal, dan Sumayah
UM Surabaya

*) Oleh: Ferry Is Mirza DM

Meniti jalan dakwah bukan soal lama atau sebentar. Bukan soal menang atau kalah.
Tetapi, soal ketaatan dan keistikamahan.

Dakwah, menuntut pengembannya senantiasa meniti jalannya. Tidak berpaling atau menyimpanginya, meskipun hanya sehelai rambut.

Dakwah, menuntut diri menghabiskan waktu, menghabiskan tenaga menghabiskan pikiran menghabiskan harta, menghabiskan usia, untuk selalu istikamah menapakinya.

Dakwah, menuntut tidak berpaling, baik karena harta, kekuasaan, atau berbagai kemaslahatan dari sekerat tulang dunia yang tidak mengenyangkan.

Dakwah tak menuntut selalu terjaga. Ada kalanya boleh rehat, menepi, untuk melakukan kontemplasi, mengumpulkan energi, untuk kembali bergelut, menceburkan diri di derasnya gelombang samudera dakwah.

Dakwah, memberi waktu untuk tersenyum, mengingat atas semua kebahagiaan dan rasa syukur, dan selalu menuntun untuk tetap sabar dan ikhlas menapaki berbagai ujian dan gangguan.

Jika pikiran mulai melemah, raga terasa ringkih, semangat tak lagi membara, kembalilah pada ingatan akhirat. Akhirat, tempat kembali dan keinginan kuat untuk bertetangga bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat.

Dakwah, adalah jalan yang dahulu ditempuh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Jika ingin bertetangga dengan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat di Surga, tentulah didunia harus melakukan amalan yang dilakukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat.

Dakwah adalah ladang, tempat menebar benih dan merawat pepohonan. Dakwah, adalah tempat di mana diri terus terlena kehabisan waktu, hingga akhirnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjemput, diladang, di saat keasyikan dalam dakwah.

Dakwah, tidak membutuhkan. Tapi dirilah yang membutuhkan dakwah, untuk mengumpulkan perbendaharaan amal, agar diri kelak menerima catatan amal dengan tangan kanan.

Di jalan Dakwah, ujungnya kelak adalah saat dimana kita menghembuskan nafas, dan tak akan bisa menghirupnya lagi. Itulah kematian, kematian karena dakwah.

Dakwah itu indah, mengasyikkan, membahagiakan. Risiko menghadapi sikap represif penguasa zalim, itu biasa. Tak ada yang tak indah, dari setiap hikmah yang mampu dipetik dari dakwah.

Menyusuri lika-liku, menerjang rintangan, menghadapi tantangan, melakukan pertarungan, semuanya itu adalah bagian dari pernak-pernik dakwah. Tak ada yang perlu dirisaukan dalam dakwah.

Ya memang, ada yang ditangkap, ada yang dipenjara, ada yang dialienasi dari masyarakat, ada yang diftinah, ada yang diputus penghidupannya, hingga yang sekedar diancam dan diintimidasi. Semua itu tak boleh menyurutkan langkah, apalagi memalingkan diri dari dakwah.

Para penguasa zalim hanya bisa mengancam, mengintimidasi, memutus pekerjaan, memutus bisnis, menangkap atau memenjarakan.

Tapi mereka, tak akan mampu memutus rezeki, tak akan mampu menerobos benteng perlindungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan tak mampu membeli neraka untuk menempatkan pengemban dakwah agar menjadi penghuninya.

Tengoklah kisah sahabat, diantaranya kisah perjuangan Bilal bin Rabah. Ketika Mekkah diterangi cahaya agama Islam yang dibawa Rasulallah yang agung, beliau shalallahu alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid.

Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Tak mudah jalan bagi Bilal memeluk akidah Islam. Bilal merasakan penganiayaan hebat dari orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya.

Namun, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, Bilal bin Rabah tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang sulit ditunjukkan oleh siapa pun.

Bilal tak memiliki pelindung, baik kerabat atau jaminan suku tertentu. Bilal adalah bagian dari orang-orang yang tertindas (mustadh’afin), dari kalangan hamba sahaya dan budak, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang- orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan.

Kafir Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas Bilal sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti dakwah Nabi Muhammad 

Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekkah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang- orang Quraisy itu mulai membuka pakaian Bilal, lalu memakaikan baju besi dan membiarkan Bilal terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.

Tidak cukup sampai disitu, orang- orang Quraisy itu mencambuk tubuh Bilal sambil memaksa mereka mencaci maki Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).”

Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan RasulNya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan !”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekkah.

Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan RasulNya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang- ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Selain Bilal, ada juga Sumayah ibu dari Amar bin Yasir yang juga dari kalangan keluarga tertindas, disiksa oleh orang- orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang.

Abu Jahal membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah Sumayah sebagai Syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Itulah, kisah ujian para sahabat dalam mempertahankan akidah Islam. Ujian itu, tak ada bandingannya dengan berbagai ujian dakwah yang kita hadapi.

Ujian kita, generasi abad ini, jauh lebih ringan ketimbang ujian yang dihadapi Rasullullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat.

Karena itu, selalu kariblah dengan kitab siroh, baca berulang-ulang kisah perjuangan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat. Niscaya, dada akan lega dan perasaan sempit akan segera sirna.

Demikianlah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabat telah menghabiskan waktu untuk dakwah Islam, rela lelah berpeluh dan menanggung ujian dalam dakwah.

Sebagai umat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sudah sepatutnya kita juga menghabiskan waktu untuk dakwah.

Insya Allah bermanfaat. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini