Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah resmi menggelar “Mudarasah Hisab Rukyat Kader Ulama Muda Muhammadiyah pada 18 Mei 2023.
Kegiatan ini bekerja sama dengan Pusat Tarjih Muhammadiyah dan Lembaga Pengembangan Studi Islam Universitas Ahmad Dahlan (LPSI UAD), acara ini diisi oleh kader Ulama Muda Muhammadiyah baik di dalam maupun luar negeri.
Pada cluster pertama , semua peserta fokus membahas tentang Hisab-Rukyat dalam Tinjauan Ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis beserta tafsir maupun syarahnya.
Nur Fajri Romadhon dari Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Arab Saudi membahas tentang klaim ijma’ ketidakbolehan menggunakan hisab falaki dalam penentuan awal bulan Hijriyah.
Dengan merujuk pada data-data turas, Nur Fajri menelusuri berbagai penolakan terhadap hisab salah satunya dari Al-Jashshash. Klaim ijma dari Al-Jashshash ini lantaran ia berpegang teguh pada pemahaman bahwa sahnya kesepakatan baru ulama zaman belakangan menjadi ijma, sehingga khilaf yang ada sebelumnya diabaikan.
Perpendapat dia bahwa penolakan para ulama terhadap hisab bukanlah ijma. Soalan hisab falaki dalam menentukan awal bulan Hijriyah telah terang sudah menjadi khilafiyyah di masa Saḥabat Nabi Saw. karena bukan ijma, Muhammadiyah memilih metode yang diyakini paling rajih, yaitu tidak terikat hanya metode rukyat.
Pembicara kedua Tajun Nasher, Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Gresik. Dia mempresentasikan tentang perbedaan para fuqaha dalam penentuan awal bulan.
Menurutnya, salah sebab yang paling menonjol dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama adalah pemahaman terhadap teks perintah Nabi untuk melihat hilal, apakah perintah tersebut tersebut bersifat ta’abbudi yang harus dijalankan apa adanya adanya, ataukah bersifat ta’aqquli yang penerapannya berdasarkan ada atau tidaknya illat hukum.
Dia mengaku lebih condong memilih pendapat yang membolehkan ilmu hisab karena kekuatan argumennya dan juga pendapat ini lebih sesuai untuk diterapkan di zaman modern, di mana ilmu hisab mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga hasilnya mencapai derajat qath’i setelah sebelumnya bersifat dhanni.
Pembicara ketiga Andi Sitti Mariyam, dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya. Dia mempresentasikan paper dengan judul Aspek Astronomis Penentuan Awal Bulan Hijriyah.
Ia menanggapi tulisan seorang peneliti yang mengatakan bahwa Hisab Wujudul Hilal telah usang karena terinspirasi teori geosentris.
Menurutnya, cara pandang geosentris tidak sepenuhnya ditinggalkan karena dalam beberapa aspek memang diperlukan.
Contoh ketika seorang pengamat di bumi menggunakan data koordinat benda langit ekuatorial (data asensiorekta dan deklinasi) yang menempatkan ekuator bumi sebagai acuan, maka ini menggunakan kerangka berfikir yang geosentris.
Bukankah teman-teman yang merukyat juga menggunakan data-data asensiorekta dan deklinasi objek-objek langit?
Kerangka koordinat ekuatorial itu geosentrik. Dalam sebuah koordinat benda langit semua obyek diposisikan terhadap bumi sebagai pusat.
Selain itu, jarak tidak diperhatikan. Obyek-obyek langit ini dianggap menempel di langit yang dimodelkan berbentuk bola.
Pembicara terakhir dari PCIM Mesir, Zaky al-Rasyid. Dia memaparkan tentang Diskursus Kiyas di Sabab: Legitimasi Hisab sebagai Sabab Syar`I Dimulainya Awal Bulan Hijriyah.
Zaky membedah argumentasi yang mengatakan bahwa rukyat menjadi sebab datangnya awal bulan terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah dengan metode naqdh.
Metode ini merupakan gaya debat para ulama dalam kitab-kitab klasik mereka, yang membantah dengan mengikuti logika berpikir lawan bicara.
Menurut Zaky, hubungan antara sabab dengan hukumnya ialah sebagai penanda, bukan yang mempengaruhi secara hakiki.
Karenanya, jika makna/`illah yang terdapat pada rukyah terdapat pada sesuatu yang lainnya, maka sesuatu itu bisa juga menjadi sabab bagi kewajiban dimulainya dan diakhirinya puasa Ramadan, sebagaimana rukyah.
Ada pun makna/`illah rukyah adalah memverifikasi mulainya bulan baru hijriyah, dan makna ini secara presisi ada pada hisab/ilmu falak syar`i.
Bahkan beberapa ulama menyatakan hasil hisab bersifat qath`i, dibandingkan dengan rukyah yang sifatnya zhanni.
Sehingga hal ini melegitimasi bahwa hisab bisa menjadi sabab dimulainya dan diakhirinya puasa Ramadhan dan bulan-bulan hijriyah lainnya, sebagaimana rukyah. (*/tim)