Seberapa penting filsafat dan rasionalitas bagi kaum muslimin? Jika filsafat itu penting, bagian manakah dari filsafat itu yang perlu ditekankan sekaligus perlu dijauhkan dalam pendidikan kaum muslimin?
Jika masa kegemilangan Islam sangat dekat dengan filsafat, lantas apakah Muhammadiyah sebagai gerakan Islam bervisi Din al-Hadharah atau agama peradaban telah memberi ruang pada pendidikan filsafat?
Budayawan sekaligus Wakil Ketua II Lembaga Seni Budaya (LSB) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kusen, Ph.D menghimpun pertanyaan sekaligus argumentasi mengapa kaum muslimin memiliki urgensi untuk mempelajari filsafat lewat bukunya yang berjudul Ontologi: Analisa dan Kritik Issue-Issue Filsafat, Agama, Sains.
Buku yang diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan setebal 125 halaman ini telah diterbitkan dalam dua kali cetakan oleh Penerbit Neoma Publisher pada Juni dan Oktober 2022.
Dengan cara penuturan yang mudah dipahami, sederhana, singkat dan unik, Kusen menekankan pembahasan pada tema-tema seputar ontologi, satu bagian dari materi filsafat yang paling awal untuk membahas tentang wujud, eksistensi dari keberadaan sesuatu, baik yang bersifat materi maupun idea.
Dalam pembahasan filsafat, Ontologi dianggap penting karena dari sinilah pembahasan materi filsafat yang lainnya seperti Epistemologi hingga Aksiologi berangkat.
Lewat buku ini, Kusen menegaskan bahwa filsafat bukanlah barang haram bagi kaum muslimin, melainkan tradisi yang telah dihidupkan oleh para ulama di periode paling awal, terutama di masa kegemilangan Islam.
Kegagalan kaum muslimin dalam memahami filsafat, terutama pada bagian ontologi Islam dianggap mengakibatkan terjadinya kegagapan dalam memadukan sains dan ilmu alam modern yang selaras dengan nilai-nilai Tauhid.
Sebagai akibatnya, kemunafikan ideologis terjadi. Di satu sisi kaum muslimin mempercayai secara dogmatik bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah Swt, sekaligus mempercayai bahwa alam semesta tercipta akibat ‘ledakan besar’ (big bang) yang terjadi secara natural tanpa ada campur tangan Tuhan.
Kegagapan untuk mendefinisikan ontologi, selanjutnya mengakibatkan kegagalan mendefinisikan diri, sekaligus kerusakan dalam pandangan alam dan dunia (worldview) yang menyebabkan lahirnya krisis kepribadian dalam menjalani kehidupan di dunia.
Pada buku ini, kecenderungan Kusen dalam memahami filsafat kuat dipengaruhi oleh pandangan dari ulama sekaligus filosof Islam abad pertengahan, Sadruddin Muhammad Shirazi (Mulla Sadra, l.1572-w.1640).
Kritik Terhadap Muhammadiyah
Lewat bukunya, Alumni Program Doktoral Filsafat Universitas Belgorod Rusia ini tak lupa menegaskan perbedaan tradisi filsafat Islam dengan filsafat Barat yang Sekuler. Kritik terhadap pandangan sekularisme dan positivisme ditekankan sebagai bagian dari kekhasan ontologi Islam.
Untuk Muhammadiyah sendiri, Kusen memberi kritik bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid masih meminggirkan filsafat.
Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya satu pun program studi Filsafat di 173 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) yang ada. Satu-satunya studi Filsafat pertama sekaligus terakhir di Muhammadiyah adalah Fakultas Falsafah dan Hukum Padang Panjang 1955 yang dipindahkan ke Jakarta dan berubah nama menjadi Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) 1957.
Kusen menganggap bahwa fakultas ataupun prodi filsafat mestinya dimiliki oleh Muhammadiyah, terutama dalam mendefinisikan ontologi Muhammadiyah mengacu pada pasal pertama Anggaran Dasar Muhammadiyah yang berbunyi, “hidup manusia itu bertauhid”.
Selain itu, prodi Filsafat dianggap sebagai suatu keperluan wajib ‘ain, jika mengacu pada tujuan Muhammadiyah menjadikan Islam sebagai Dinul Hadharah sekaligus mengacu penekanan pentingnya ilmu mantik oleh KH Ahmad Dahlan lewat pidato Tali Pengikat Hidup (1930).
Dalam kaidah fikih, kewajiban ini didefinisikan sebagai “Ma Laa Yatimmul Wajib Illa Bihii Fa Huwa Wajib” (Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga wajib).
Muhammadiyah menurut Kusen telah melihat pentingnya filsafat, namun pada akhirnya tidak tuntas dan terabaikan. Hal ini menurutnya bisa dilihat dari kegagalan melaksanakan salah satu putusan Tanfidz Muktamar Satu Abad terkait perlunya rumusan Filsafat Pendidikan Muhammadiyah.
Kegagalan melaksanakan putusan itu selanjutnya diangkat kembali pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar tahun 2015 dengan penanggung jawab Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan. Call Paper Filsafat Pendidikan Islam pun dilaksanakan dalam dua jilid untuk menjaring pemikiran dari kader-kader Muhammadiyah, namun gagal karena sepi peminat.
Pada 2018, Call Paper Filsafat Islam ini kembali dilaksanakan dengan tidak membatasi peserta hanya untuk para kader Muhammadiyah. Meski masih minim kader yang ikut serta, hasil dari ikhtiar ini dibukukan dengan judul Jejak-Jejak Filsafat Pendidikan Islam dan diterbitkan pada tahun 2018 oleh Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah.
Secara garis besar, buku ini layak dibaca bagi praktisi pendidikan, pembelajar, baik dari kalangan umum maupun Muhammadiyah, yang ingin mengetahui urgensi pembahasan ontologi dalam tema filsafat. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id