Seni Menyikapi Ujian Hidup dengan Kesabaran
Ilustrasi: aljumuah
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Dalam alur kehidupan, manusia selalu berhadapan dengan dua sisi yang tidak terpisahkan: suka dan duka. Padahal, suka dan duka sejatinya bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan pasangan yang saling melengkapi.

Karena adanya duka, kebahagiaan terasa begitu indah, dan karena kebahagiaan, duka menjadi penuh makna.

Hidup memang tidak pernah lepas dari ujian, dengan berbagai masalah yang datang silih berganti. Inilah sebabnya seorang Mukmin dituntut untuk menjadi pribadi yang penyabar.

Kesabaran adalah buah dari keimanan dan keshalihan, layaknya pohon yang subur. Pohon itu membagikan kelezatan buahnya kepada setiap orang yang memetiknya, sama seperti seorang Mukmin yang menyebarkan kebaikan melalui akhlaknya yang mulia.

Seorang Mukmin sejati ditandai dengan budi pekerti yang luhur: tutur kata yang santun, penampilan yang sederhana, dan pengabdian tanpa pamrih kepada Rabb-nya.

Mereka yang memiliki sifat sabar inilah yang layak meraih kebahagiaan sejati, yaitu surga yang dijanjikan.

Allah telah menyiapkan tempat di Jannah bagi mereka yang baik budi pekertinya. Malaikat pun menyapa dengan lembut:

“Kesejahteraan dilimpahkan atas kalian, berbahagialah! Maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zumar: 73)

Namun, mencapai kemuliaan di sisi Allah Azza wa Jalla tidaklah mudah, dan sabar adalah salah satu kuncinya.

Rida adalah bentuk nyata dari kesabaran, di mana seorang Mukmin rela menerima semua ketentuan Allah dengan hati yang lapang. Ia yakin bahwa janji Allah pasti benar dan pahala yang melimpah telah menantinya.

Seperti yang disampaikan DR. Ahmad Farid dalam bukunya Mawaqif Imaniyah, salah satu cara untuk melatih kesabaran adalah dengan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits tentang keutamaan bersabar. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Imran: 146)

Kisah para sahabat Rasulullah juga menjadi teladan, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika dia kehilangan penglihatannya, banyak orang mendatanginya untuk meminta do’a, karena Sa’ad dikenal sebagai hamba Allah yang doanya selalu diijabah.

Namun, ketika seorang anak meminta Sa’ad berdoa agar matanya kembali normal, Sa’ad tersenyum dan berkata: “Allah telah menetapkan ujian ini untukku, namun aku memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar penglihatan.”

Kesabaran membawa seseorang menuju cinta Ilahi. Doa tidak diijabah kecuali setelah ada kesungguhan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan yang sunnah hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk menjulurkan, dan kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan memberinya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari)

Tidak ada hidup tanpa kesedihan. Baik disadari atau tidak, kesedihan selalu datang dalam bentuk bencana, kehilangan, atau kegagalan.

Mereka yang membenci kesedihan, justru akan menderita lebih dalam. Sebaliknya, orang yang mampu menerima dan berpelukan dengan kesedihan akan menemukan kebahagiaan yang lebih besar.

Tanpa kesedihan, jiwa kita tidak akan siap menampung kebahagiaan. Keduanya seperti dua saudara kembar yang bekerja bergantian.

Kesedihan dan kebahagiaan adalah dua sayap dari burung kehidupan. Jika salah satu sayap dibuang, burung itu akan jatuh dan celaka.

Perhatikanlah lambang-lambang kebahagiaan: piala kemenangan yang melalui proses pembakaran dan pembentukan yang menyakitkan, atau seruling yang menyenandungkan melodi indah setelah dirinya dipotong dan dilubangi.

Bahkan seorang anak yang menjadi kebanggaan orang tua, lahir dari kekhawatiran dan kesabaran panjang.

Pada akhirnya, semua kebahagiaan dibangun di atas pundi-pundi kesedihan. Untuk menerima kebahagiaan, kita tidak memerlukan banyak kedewasaan.

Tetapi, untuk menerima kesedihan dengan hati terbuka, dibutuhkan kebijaksanaan yang mendalam.

Itulah hakikat dari menjadi pribadi yang penyabar, yang siap menanti pahala Allah di dunia maupun akhirat. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini