Menghindari Pola Prasmanan dalam Beragama
foto: ist
UM Surabaya

*) Oleh: Ferry Is Mirza DM

Ada sebuah istilah yang sudah tidak asing di telinga kita, yaitu “prasmanan.” Prasmanan adalah cara penyajian makanan di mana tamu dipersilakan untuk memilih dan mengambil sendiri hidangan yang telah ditata di meja.

Tamu bisa memilih makanan yang disukainya dan meninggalkan yang tidak diinginkan. Model penyajian ini sering kita jumpai di berbagai acara resepsi pernikahan atau perayaan lainnya.

Pola prasmanan dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak masalah, selama makanan yang disajikan halal dan tidak berlebihan.

Namun, ketika pola pikir ini diterapkan dalam beragama, di sinilah permasalahan muncul. Sebagian umat Islam memandang ajaran Islam seperti prasmanan; mengambil yang mereka sukai dan meninggalkan yang tidak disukai.

Pola “prasmanan” dalam beragama jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Allah SWT berfirman:

“Apakah kalian mengimani sebagian isi Kitab lalu ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam azab neraka yang sangat pedih. Allah sama sekali tidak lengah mencatat semua perbuatan kalian.” (QS. Al-Baqarah: 85)

Islam adalah agama yang sempurna, sebagai pedoman hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Allah SWT menurunkan Islam untuk kita terapkan secara keseluruhan, bukan separuh-separuh atau hanya bagian-bagian yang sesuai dengan kehendak pribadi. Kita dituntut untuk menerima dan mengamalkan semua ajaran Islam tanpa pengecualian.

Sayangnya, masih banyak di antara kita yang beragama secara “pilih-pilih.” Ada yang menjalankan salat dengan mengikuti tata cara Islam, namun saat berbisnis mereka mengabaikan hukum-hukum Islam.

Ada yang saat berhaji menjalankan syariat dengan tertib, tetapi dalam ideologi dan keyakinan, mereka malah mengadopsi ajaran lain.

Bahkan ada yang saat berpuasa berpegang teguh pada aturan Islam, tetapi ketika berpolitik, mereka menghalalkan segala cara, termasuk melakukan korupsi, fitnah, dan money politic.

Sungguh disayangkan, banyak yang menganggap bahwa urusan politik tidak ada kaitannya dengan agama, seakan-akan politik memberi kebebasan untuk berbuat apa saja, termasuk melanggar nilai-nilai Islam.

Padahal, Islam mengatur tidak hanya tentang shalat dan puasa, tetapi juga tentang etika berbisnis, berpolitik, dan kehidupan bermasyarakat.

Islam adalah agama yang menyeluruh. Sebagaimana Islam mengatur tata cara ibadah seperti shalat dan puasa, Islam juga mengatur kehidupan sehari-hari, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Islam juga memberikan pedoman dalam berpakaian, bersosialisasi, dan mengelola negara. Dari hal-hal kecil seperti tata cara masuk kamar mandi hingga urusan besar seperti hukum dan tata kelola bangsa, semua telah diatur dalam Islam.

Beragama secara parsial adalah salah satu jebakan setan untuk menyesatkan manusia. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kâffah (totalitas), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Oleh karena itu, mari kita tinggalkan pola pikir “prasmanan” dalam beragama. Islam bukanlah agama yang bisa dipilih sebagian dan ditinggalkan sebagian lainnya.

Islam menuntut kita untuk mengamalkan ajarannya secara keseluruhan, dengan totalitas dan ketaatan penuh. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini