Embun Di Balik Kabut
UM Surabaya

*)Oleh: Syahrul Ramadhan, SH, MKn
Sekretaris LBH AP PDM Lumajang

Dalam kehidupan, kita sering kali dihadapkan dengan situasi yang membutuhkan pengorbanan, baik itu materi, tenaga, atau perasaan. Keikhlasan dalam setiap pengorbanan ini adalah salah satu hal yang kerap kali menjadi tantangan tersendiri. Ibarat embun di balik kabut, keikhlasan sering tersembunyi di balik berbagai keinginan dan nafsu manusia. Untuk menggali makna ikhlas dan menyingkirkan kabut nafsu, kita dapat belajar dari kisah-kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Kisah Utsman bin Affan

Salah satu kisah yang penuh hikmah tentang keikhlasan dalam memberi adalah kisah Utsman bin Affan saat menghibahkan sumurnya. Pada masa itu, kaum Muslimin mengalami krisis air di Madinah. Sumur milik seorang Yahudi menjadi satu-satunya sumber air yang tersisa, dan ia menjual air tersebut dengan harga yang mahal. Melihat hal ini, Utsman bin Affan RA tergerak untuk membeli sumur tersebut untuk kepentingan umat Muslim.

Namun, sang pemilik sumur hanya mau menjual setengahnya, sehingga Utsman membeli separuh hak guna sumur itu. Kesepakatan tersebut memungkinkan Utsman menggunakan sumur pada satu hari dan pemilik aslinya pada hari berikutnya. Pada hari-hari ketika sumur digunakan Utsman, ia mengizinkan kaum Muslimin mengambil air secara gratis. Melihat bahwa tidak ada yang membeli air pada hari yang dikelola pemilik aslinya, sang pemilik akhirnya menjual seluruh haknya kepada Utsman, dan sumur itu pun menjadi milik umat.

Tindakan Utsman bin Affan ini merupakan bentuk hibah yang sarat akan keikhlasan. Beliau tidak mencari keuntungan pribadi, melainkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan umat dan meraih keridhaan Allah SWT. Dalam tindakan tersebut, Utsman berhasil menyingkirkan kabut nafsu berupa keinginan untuk memperoleh materi dan menggantinya dengan embun keikhlasan yang menyejukkan hati.

Keikhlasan di Balik Hibah: Menghindari Riak dan Nafsu

Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Dan mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan, (sambil berkata), ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan tidak pula (ucapan) terima kasih darimu.’” (QS. Al-Insan: 8-9)

Ayat ini mengajarkan bahwa dalam setiap pemberian, hendaknya niat utama adalah mencari rida Allah SWT, bukan pujian atau pengakuan dari manusia. Ini adalah inti dari keikhlasan, yang menjadi lawan dari nafsu untuk mendapat pujian atau pengakuan. Seperti embun yang tersembunyi di balik kabut, keikhlasan adalah esensi yang seringkali tak terlihat, namun keberadaannya memberikan kesejukan dan ketenangan dalam hati.

Ketika kita memberi, apakah itu dalam bentuk harta, waktu, atau bantuan lainnya, seringkali nafsu untuk mendapat pengakuan dari orang lain menyelimuti niat kita. Tanpa disadari, kita menjadi lebih berfokus pada apa yang dipikirkan orang lain tentang kita daripada bagaimana Allah menilai tindakan kita. Di sinilah pentingnya refleksi diri, menelusuri niat apakah tindakan kita benar-benar karena Allah ataukah karena ada dorongan nafsu yang mengaburkan keikhlasan tersebut.

Kisah Hibah Seorang Sahabat kepada Rasulullah SAW

Dalam sebuah riwayat, ada seorang sahabat yang memberikan sepetak kebun kepada Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah menerima hibah tersebut, sahabat ini berulang kali menyampaikan rasa senangnya karena telah memberikan kebun itu kepada Nabi. Melihat hal ini, Rasulullah mengingatkan bahwa jika ia terus menerus membicarakan hibah yang diberikan, maka pahala yang telah ia berikan akan berkurang.

Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga keikhlasan dalam memberi. Ketika niat sudah mulai terkontaminasi oleh keinginan untuk dipuji, apalagi sampai mengungkit pemberian tersebut, maka pahala yang seharusnya kita dapatkan dari Allah bisa terkikis.

Dalam syariat Islam, ada kisah dan riwayat yang mengisahkan tentang seseorang yang memberikan hibah (pemberian tanpa pamrih) namun kemudian menariknya kembali karena penyesalan atau kebencian. Salah satu hadits yang sangat terkenal terkait hal ini adalah tentang larangan menarik kembali hibah yang telah diberikan, yang disebutkan sebagai perbuatan yang tidak baik dan bahkan diibaratkan seperti perbuatan yang buruk dalam Islam.

Berikut adalah riwayatnya:

  1. Hadits tentang larangan menarik kembali hibah

Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda:

“Orang yang menarik kembali hibahnya itu seperti anjing yang menjilat muntahannya sendiri.”

(HR. Al-Bukhari no. 2621 dan Muslim no. 1622)

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberikan perumpamaan yang sangat keras, menyatakan bahwa seseorang yang menarik kembali pemberiannya (hibah) seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya. Ini menggambarkan betapa tercelanya perbuatan tersebut dalam pandangan Islam. Rasulullah SAW melarang perbuatan tersebut karena dianggap merusak prinsip kebaikan dan keikhlasan dalam memberi.

  1. Hadits lain yang menguatkan

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak halal bagi seseorang yang memberikan suatu pemberian, kemudian mengambilnya kembali, kecuali orang tua yang memberikan kepada anaknya.”

(HR. Abu Dawud no. 3539, At-Tirmidzi no. 1299, dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)

Dalam hadits ini, ada pengecualian untuk orang tua yang memberikan pemberian kepada anaknya. Orang tua masih diperbolehkan untuk menarik kembali pemberian tersebut jika memang ada alasan yang kuat. Namun, secara umum, menarik kembali hibah yang sudah diberikan dianggap tidak dibolehkan dalam Islam, kecuali dalam situasi tertentu.

  1. Makna dan Hikmah dari Larangan Ini

Larangan ini bertujuan untuk menjaga nilai keikhlasan dalam pemberian dan menghindari perselisihan yang dapat terjadi akibat pengambilan kembali pemberian. Ketika seseorang memberikan sesuatu dengan niat baik, maka seharusnya ia melakukannya dengan tulus tanpa ada niatan untuk mengambilnya kembali. Mengambil kembali hibah menunjukkan ketidaktulusan dalam memberi, yang bertentangan dengan ajaran Islam yang mengutamakan keikhlasan.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa dalam memberi, tidak cukup hanya berkorban dari segi materi saja. Harus ada pengorbanan ego dan nafsu, sehingga pemberian kita menjadi ibarat embun yang murni, menyejukkan tanpa perlu dilihat dan dibicarakan. Itulah bentuk ikhlas yang sesungguhnya, yang membuat kita dekat kepada Allah dan jauh dari rasa riak serta kesombongan.

Menemukan Embun Keikhlasan dalam Kehidupan Sehari-hari

Ikhlas memang tidak mudah. Dalam setiap perbuatan baik, seringkali ada nafsu yang membisikkan agar kita diakui, dipuji, atau dikenal. Namun, seperti embun yang tak terlihat di balik kabut, ikhlas sebenarnya ada di dalam setiap hati yang ingin benar-benar mendekat kepada Allah SWT.

Untuk menjaga keikhlasan, penting bagi kita untuk selalu memperbarui niat dan menyadari bahwa balasan terbaik dari segala amal perbuatan adalah balasan dari Allah, bukan dari manusia. Dalam setiap pemberian, baik itu hibah harta, tenaga, atau bahkan waktu dan perhatian, semoga kita mampu menyibak kabut nafsu dan menemukan embun keikhlasan yang sejati.

Dalam suasana kehidupan yang penuh dengan tuntutan pengakuan, kisah-kisah di zaman Nabi memberikan pelajaran berharga bahwa embun keikhlasan adalah anugerah yang harus dicari dan dijaga. Semoga setiap dari kita mampu meneladani keikhlasan para sahabat dan Rasulullah SAW dalam memberi, agar hidup kita menjadi lebih tenang dan mendekat kepada-Nya, bagaikan embun yang menyejukkan hati di tengah kabut kehidupan yang penuh dengan godaan nafsu.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini